Rabu, 14 November 2007

Ekonomi Islam

Ekonomi Islam
Sudah menjadi kebiasaan kita umat Islam mengatakan bahwa dunia itu penipu. Tapi berapa orang yang sudah benar-benar lari dari tipuan dunia? Itu yang jarang berlaku. Bahkan tidak sedikit yang memandang besar terhadap dunia. Sementara akhirat dipandang kecil.
Dunia mengikut pandangan Islam ialah apa saja perkara atau amalan yang faedahnya tidak sampai ke akhirat, hanya habis di dunia saja. Dengan kata lain dunia ialah sesuatu yang tidak menjadi sebab kita mencapai keridhaan Allah. Artinya Allah tidak ridha. Kalau perkara dunia itu diredhai oleh Allah maka disebut akhirat. Yakni dunia yang sudah dijadikan akhirat, dijadikan alat atau jalan untuk mencapai kebahagiaan yang hakiki dan kekal abadi di akhirat kelak. Sebab itu dalam Islam dunia dibedakan menjadi tiga bentuk:
1. Dunia yang dilaknat; yakni setiap perkara atau amalan yang haram dan wajib dijauhi.
2. Dunia yang menjadi fitnah; yakni setiap perkara atau amalan yang mubah yang dapat melalaikan kita dari Allah.
3. Dunia yang manfaatnya dibawa ke akhirat; yakni setiap perkara yang diperintahkan dan dibolehkan yang dibuat karena Allah.
Dunia yang menipu ada tiga bagian:
1. Setiap perkara yang haram.
2. Setiap perkara yang dibolehkan yang tidak dijadikan ibadah.
3. Setiap amalan kebaikan yang secara lahiriahnya dituntut tapi dibuat bukan karena Allah.
"Allah menilai dunia sebagai suatu permainan atau suatu yang melalaikan." (QS. Al Hadid : 20)
Lawan dunia adalah akhirat. Yakni setiap perkara atau pekerjaan yang manfaatnya untuk akhirat. Ia dapat menjadi sebab untuk mandapat keridhaan Allah dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Inilah yang penting untuk kita beri perhatian, bukan dunia yang melalaikan. Akidah, ibadah, akhlak, pendidikan, ekonomi dan berbagai kemajuan dalam segala bidang kehidupan yang diatur dan disusun mengikut peraturan Allah, itulah yang semestinya kita pandang besar. Semua itu datang dari Allah yang Maha Besar dan dipandang besar oleh Allah.

Tetapi malang manusia hari ini sangat memandang besar dengan dunia yang menipu dan melalaikan. Memandang besar dengan segala sesuatu atau aktivitas hidup yang di dalamnya ada kemaksiatan. Sunnah rasul dilecehkan. Sembahyang dipandang kecil ditangguh-tangguh dan tidak dijaga sungguh-sungguh. Hukum-hukum Allah tidak diperdulikan. Bahkan Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang mencipta, memelihara serta mencukupkan segala keperluan hidup manusia pun dilupakan. Mereka asyik dengan dunia yang sangat kecil dan tidak ada nilai disisi Allah.

Sungguh sangat merugi orang-orang yang meninggalkan Allah. Mereka akan ditinggalkan Allah. Ditinggalkan Allah kehilangan segala-galanya. Isteri yang cantik, harta yang melimpah, jabatan yang tinggi tidak ada arti dalam hidupnya, tidak memberi kebahagiaan di dunia. Di akhirat akan menjadi beban yang amat berat dan membawa manusia ke neraka.

Sudah saatnya kita umat Islam segera kembali kepada Allah. Segera menukar pandangan dan cara hidup jahiliah kepada cara hidup Islam, cara hidup yang sangat sesuai dengat fitrah manusia. Lebih-lebih di akhir zaman ini, di saat kebangkitan Islam sedang berlaku menuju kepada kemenangan yang gemilang. Muharram pun, yang di sepanjang sejarahnya banyak peristiwa besar berlaku, kini sedang kita lewati. Marilah kita jadikan Allah sebagai tujuan. Dunia kita jadikan sebagai alat untuk sampai kepada Allah. Kita jadikan Islam sebagai cara hidup, dan kita perjuangkan agar ummah kedua berlaku di tangan kita.

Satu tonggak sejarah yang merupakan anak kunci bagi kebangkitan ummah pertama adalah membangun sistem ekonomi Islam. Masyarakat Madinah dengan suqul Ansharnya cukuplah menjadi pelajaran bagi kita. Secara lahirnya tidak besar, sebesar "Masjid Nabawi". sekarang. Tapi di sisi Allah ia besar. Ia dibesarkan oleh Allah Yang Maha Besar. Dari situ lahir ummah Islam pertama yang keindahan dan keagungannya masih dikenang hingga ke hari ini.

Keagungan dan kebesaran Islam hakikinya bukan terletak pada ketinggian ilmu pengetahuan, walaupun ilmu itu diperlukan. Juga bukan terletak pada kecanggihan teknologi dan kemajuan lahiriah. Semua itu adalah hikmah, Allah mudahkan memperolehnya bagi orang-orang yang bertakwa. Keagungan dan kebesaran Islam hakikinya terletak pada syariah, akhlak dan adanya khawariqul 'adah atau bantuan Allah, karena pemimpin, tim kepemimpinan dan rakyatnya sudah bertaqwa.

Kalau demikian halnya, mengapa kita mencari-cari model dalam membangunkan sistem ekonomi dan masyarakat Islam. Mengapa umat Islam lalai dari Allah dan mengorbankan syariat-Nya dalam meraih kemajuan? Mengapa akhlak Islamiah tidak wujud dalam kehidupan bermasyarakat Islam? Sadarilah, justru karena itulah umat Islam telah terhina selama ratusan tahun.

Untuk mengulangi sejarah masa lampau, meniti janji Allah bagi umat Islam di akhir zaman ini, marilah kita besarkan Allah. Hanya Dia yang layak dibesarkan. Syariat Allah lebih besar dibandingkan dengan undang-undang ciptaan manusia. Pemimpin yang Allah lantik dan jamaahnya jauh lebih besar disisi Allah, meskipun pengikutnya sangat sedikit, dibandingkan dengan pemimpin yang dilantik oleh manusia dan jamaah yang dipimpinnya. Sistem ekonomi Islam jauh lebih besar dibandingkan dengan sistem ekonomi kapitalis, sosialis atau yang lainnya yang direka oleh akal manusia.

Insya Allah, tidak lama lagi kita akan melihat kebesaran empire Islam. Kita akan melihat runtuhnya kebatilan dikalahkan oleh kebenaran. Kita akan melihat runtuhnya sistem ekonomi kapitalis digantikan oleh sistem ekonomi Islam. Allah telah menjanjikan kegemilangan Islam di akhir zaman. Maka kemenangan sistem ekonomi Islam dan keruntuhan sistem ekonomi kapitalis mustahil dapat dihalang. Inilah saatnya kita berjuang mencapai janji untuk meraih kemenangan. Allah mustahil ingkar janji.


KEUNTUNGAN EKONOMI ISLAM

Islam itu adalah agama kehidupan, dinul hayah, atau the way of life. Bila dikatakan agama cara hidup, maka cakupannya luas. Segala apa yang terjadi pada kita itulah kehidupan. Salah satu aspeknya adalah berkecimpung dalam bidang ekonomi. Dari keseluruhan kehidupan, dari pengalaman yang telah kita lihat dan realitas yang terjadi dalam sejarah hidup, cakupan tentang ekonomi adalah paling luas. Kita dapat lihat setelah bangun tidur, selesai sembahyang, kebanyakan manusia yang keluar rumah adalah untuk berekonomi dan berniaga. Sebab itu bangunan atau tempat yang mula-mula dihidupkan setelah subuh adalah pasar. Bangunan kantor dan sekolah belum dibuka selepas subuh. Di negara mana pun yang mula-mula beraktivitas adalah di pasar.

Perhubungan manusia antara satu sama lain yang paling banyak adalah melalui ekonomi. Begitu juga perhubungan negara dengan negara, kadang-kadang sebagian negara itu tidak akan mewujudkan kedutaan di negara lain, kecuali bila ada kepentingan ekonomi. Hal itu membuktikan dari keseluruhan kehidupan yang begitu luas di dunia ini, sebagian besar kehidupan adalah berekonomi.

Jadi bila dikatakan Islam adalah satu cara hidup, sebagian dari cara hidup itu terjadi dalam bidang ekonomi. Karena itu orang yang bercita-cita ingin memperjuangkan Islam, hendaklah membangunnya melalui berkecimpung di bidang ekonomi. Waktu kita menyelenggarakan ekonomi, kita terlibat dalam perhubungan dengan orang, terlibat di dalam jual beli, mengeluarkan barang, memberi uang pada orang, membeli dan menjual barang, membuat perjanjian dan lain-lain. Kalau kita tidak dapat menampakkan syiar Islam dalam aktivitas tersebut maka itu suatu indikasi bahwa ekonomi telah merusak keislaman kita. Kita tidak lagi menjadikan ekonomi sebagai salah satu aspek kehidupan secara Islam.

Kalau di rumah orang tidak melihat Islam sebagai cara hidup, begitu juga dengan di masjid dan di surau tetapi dalam jual beli kita dapat melihat Islam sebagai cara hidup sebab gelanggangnya luas. Jadi kalaulah orang dapat melihat Islam sebagai cara hidup ketika kita berkecimpung dalam ekonomi, maka hati kecil mereka akan berkata, "Dalam sibuk berekonomi, dia dapat mengamalkan Islam, apalagi kalau di mesjid, apalagi ketika sembahyang."

Karena itulah dalam Islam keuntungan yang dikejar dalam berekonomi bukan hanya keuntungan material, melainkan ada keuntungan-keuntungan lain yang bersifat lebih maknawi, karena dalam berniaga atau berekonomi sebenarnya kita berada dalam beribadah kepada Allah. Kita sedang berpikir dan bersikap untuk menegakkan syariat dan akhlak. Sementara itu sembahyang adalah waktu-waktu kita memperbaharui ikrar, berazam, post mortem dan harapan untuk hidup dan mati adalah mencari taqwa dan mengabdikan diri kepada Allah. Dengan kata lain berniaga adalah manifestasi dari sembahyang, yakni hendak memperbesar, mem-perpanjang dan memperluas aktivitas syariat Allah.

Berikut adalah keuntungan-keuntungan dalam perniagaan yang dijalankan betul-betul dengan niat karena Allah, yaitu:
1. Dapat berkhidmat dan menyediakan khidmat kepada masyarakat, bukan sekadar untuk mendapatkan uang dari pelanggan. Yakni dengan menyediakan barang keperluan mereka. Kita dapat pahala karena menyediakan khidmat tersebut.
2. Dapat menyediakan makan minum serta keperluan asas yang halal. Apalagi kalau kita jual dengan harga yang tidak menekan. Bukankah masyarakat telah mendapat pertolongan ? Dan tidakkah kita merasa satu kemenangan dan kepuasan karena dapat menggembirakan manusia ? Bukankah dengan menggembirakan manusia maka nanti kita akan digembirakan oleh Allah.
3. Dapat menjalin hubungan persahabatan di antara penjual dan pembeli. Bila masing-masing peniaga dan pelanggan saling merasa memberi dan menerima, saling merasa berterima kasih dan perlu memerlukan, maka terikatlah hati satu sama lain.
4. Dapat bekerja sama dan bantu membantu di antara satu sama lain. Contoh di waktu peniaga sibuk karena ramai pelanggan sepatutnya pelanggan boleh membantu dengan mengambil sendiri barang keperluannya atau membantu mengemaskan meja ketika selesai makan. Sementara itu peniaga sebagai rasa terima kasih menghadiahkan sesuatu sekalipun kecil.
5. Dapat belajar untuk bertolak ansur dan mengalah dengan orang. Dalam perniagaan perebutan antara penjual dan pelanggan sering terjadi. Penjual suka menipu atau menekan dengan menggunakan harga yang tinggi, semata-mata karena menginginkan untung cepat. Padahal kalau dia lembut dan jujur, dia akan lebih beruntung. Untung dapat uang, untung dari segi akhlak.
6. Ujian dalam berekonomi dapat melatih diri untuk sabar serta berharap pada Tuhan. Yakni menerima ujian-ujian dalam perniagaan dengan hati yang takut dan harap kepada Allah. Orang yang sabar akan mendapatkan rezeki dan pahala tanpa hisab.
7. Dapat melatih untuk berlapang dada dan memaafkan orang dalam menghadapi ragam pelanggan. Sepanjang berurusan membeli dan menjual memang kita sering berhadapan dengan hal-hal atau orang-orang yang tidak menyenangkan. Maka pergunakan kesempatan ini untuk memperoleh keuntungan luar biasa yakni menjadi orang yang paling mulia karena memiliki akhlak yang baik.
8. Dapat menyediakan peluang pekerjaan kepada masyarakat. Dapat pekerjaan artinya tidak menganggur sekaligus mendapatkan rezeki yang halal. Bahkan dengan berniaga tenaga manusia dimanfaatkan menjadi produktif demi memakmurkan masyarakat dan negara.
9. Dapat membantu memasarkan barang orang Islam yang lain melalui jaringan perniagaan yang telah diwujudkan. Usaha-usaha memproduksi dan memasarkan barang-barang Islam cukup mulia, tergolong dalam menegakkan fardhu kifayah. Apalagi kalau kita dapat menyelamatkan barang yang terbuang dan mubazir.
10. Dapat menegakkan syiar Islam melalui kemajuan yang dibangun melalui ekonomi. Menegakkan kemajuan duniawi secara Islam untuk memudahkan kehidupan adalah tanggung jawab semua orang selaku khalifah Tuhan. Dari sana orang akan dapat menyaksikan kebesaran Tuhan dan mereka dapat bersyukur. Tapi selagi umat Islam tidak menegakkan syiar Islam dalam kehidupan mereka terutama dalam bidang ekonomi, maka sulit bagi manusia untuk menganggap Islam itu hebat dan Allah itu Maha Kuasa.
11. Dapat membantu fakir miskin serta orang yang memerlukan. Yakni membayar zakat sebagai salah satu dari rukun Islam. Dengan zakat kita dapat membantu fakir miskin dan asnab yang lain. Zakat bagaikan jembatan kasih sayang antara orang berada dengan yang memerlukan.
12. Menambah ilmu dan pengalaman. Ilmu praktis tentang manajemen, keuangan, pendidikan, melayan konsumen serta menghadapi tantangan. Pengalaman pun berbagai jenisnya, dapat mengenal manusia, tempat, barang-barang dan nilai serta budaya.

Demikianlah keuntungan-keuntungan yang semestinya didapat oleh siapa saja yang berekonomi dengan niat karena Allah dan untuk menegakkan cara hidup Islam. Dengan begitu mereka mengumpulkan 2 keuntungan sekaligus yaitu untuk dunia dan akhirat. Mereka dapat menyeimbangkan material dan spritual. Maka terwujudlah satu tamadun yang sempurna untuk masyarakat manusia. Itulah Islam, satu sistem hidup yang dapat menjadi pengganti sistem kapitalis, yang sedang di ambang maut.¨


5 SYARAT AGAR BEREKONOMI DINILAI IBADAH

1. Kita perlu meneliti niat kita apakah sesuai dengan syarat pertama. Siapkan niat yang betul untuk menunaikan perintah ALLAH serta untuk membantu anggota masyarakat agar mendapat manfaat dari perniagaan kita. Kalau perniagaannya berupa makanan, makanannya mesti memudahkan umat Islam untuk membeli serta memenuhi keperluan hidupnya yang pokok, sedangkan kalau perniagaan kita berbentuk pelayanan masyarakat seperti pengobatan, notaris, penulisan dan bentuk-bentuk layanan profesional lainnya maka niatnya mestilah untuk berkhidmat kepada anggota masyarakat Islam karena ALLAH. Kalau perniagaan kita tidak diwujudkan, umat Islam akan susah karena terpaksa mendapatkan pelayanan dari orang yang bukan Islam. Begitu juga dalam bidang-bidang perniagaan yang lain di mana keberadaan perniagaan itu mesti diniatkan karena ALLAH dan memberi manfaat terutama untuk seluruh anggota masyarakat Islam. ngan demikian, kalau perniagaannya tidak membantu masyarakat Islam mendapatkan keperluan asasnya, seperti perniagaan yang membawa kehancuran hidup maka sukarlah mengukuhkan niat yang betul.
2. Kita pikirkan tentang pelaksanaan perniagaan, yaitu cara kita menjalankan perniagaan. Tentunya hal itu melibatkan kejujuran, amanah dan bersih dari amalan-amalan yang bertentangan dengan syariat Islam dan sebagainya.
3. Kita perhatikan apakah dalam urusan perniagaan itu terhindar dari hal-hal yang tidak halal atau tidak mengikut syariat Islam, seperti perniagaan menjual arak, rokok dan sebagainya.
4. Kita tinjau natijah (hasil) perniagaan itu di mana kalau kita mendapat keuntungan, kita tidak mengabaikan zakatnya dan soal-soal pengorbanan serta turut membantu perjuangan menegakkan agama ALLAH serta membantu kaum yang miskin dan lemah.
5. Kita perlu memikirkan soal-soal asas, yaitu dalam kesibukan kita menjalankan perniagaan kita tidak boleh melalaikan shalat, puasa dan sebagainya. Karena kesibukan itu tidak boleh dijadikan alasan untuk meninggalkan yang wajib.

Prayudi
Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEUI









AKUNTANSI SYARIAH
Disadur dari makalah berjudul “Akuntansi Investasi Syariah”
Oleh : Muhamad Andy Assegaff[1][1]

Tujuan utama syariat adalah memelihara kesejahteraan manusia yang mencakup perlindungan keimanan, kehidupan, akal, keturunan, dan harta benda mereka. Apa saja yang menjamin terlindunginya lima perkara ini adalah maslahat bagi manusia dan dikehendaki.
Berdasarkan perspektif Islam, sebuah pandangan dunia (worldview) bukanlah hanya mengenai pandangan pemikiran dari dunia fisik dan pandangan manusia mengenai sejarah, sosial, politik dan budaya yang direfleksikan di dalamnya. Pandangan dunia atau paradigma Islam tidak didasarkan atas spekulasi filsafat yang diformulasikan berdasarkan observasi dari data atau pengalaman yang mampu diserap panca indera. Islam tidak mendikotomikan yang suci dengan yang duniawi; paradigma Islam memasukkan unsur dunia dan akhirat, dimana aspek duniawi harus dikaitkan dengan aspek akhirat yang tak terpisahkan, dimana aspek akhirat menjadi tujuan final yang penting.
Aspek dunia dilihat sebagai persiapan untuk aspek akhirat. Kejadian faktual hanyalah salah satu aspek dari realitas berdasarkan konsep Islam (haqiqah) yang mencakup seluruh bentuk realitas. Lebih lanjut lagi, kejadian faktual bisa saja merupakan aktualisasi dari sesuatu yang salah (batil), dimana realitas selalu merupakan aktualisasi dari sesuatu yang benar (haqq). Jadi apa yang dimaksud dengan paradigma (pandangan dunia) menurut perspektif Islam adalah visi mengenai realitas dan kebenaran yang muncul sebelum mata pikiran kita menyingkap apa eksistensi itu semua; karena eksistensi dunia yang totalitaslah yang diproyeksikan oleh Islam.
Menghayati kutipan pendapat dari Syed Muhammad Naquib Al-Attas di atas jelas bahwa seluruh kehidupan manusia dalam hal ini orang-orang muslim tidak akan lepas dari nilai-nilai yang memberikan pandangan normatif didalam pelaksanaan seluruh kehidupan sosialnya Termasuk dalam kegiatan berekonomi maka sistem ekonomi yang ada seharusnya menyangkut nilai-nilai dimana nilai-nilai tersebutlah yang kemudian akan menentukan kebahagiaan hidup manusia baik di dunia maupun diakhirat. Ilmu ekonomi konvensional yang diklaim oleh beberapa ekonomnya sebagai ekonomi yang bebas nilai, saat ini menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat maju dan bahkan terdepan, melalui proses perkembangan yang panjang dan keras lebih dari satu abad terakhir.
Sebuah pertanyaan yang tidak mungkin kita hindari adalah, apakah kita benar-benar membutuhkan konsep Ilmu Ekonomi Islam pada saat ilmu ekonomi konvensional telah siap dalam formatnya yang sudah sangat maju ? Ilmu Ekonomi dengan perspektif Islam, yang sekarang ini dikenal dengan Ilmu Ekonomi Islam, baru menikmati masa kebangkitannya pada tiga atau empat dekade terakhir ini saja, setelah mengalami tidur panjang pada beberapa abad yang lalu. Oleh karena itu sebelum menjawab pertanyaan tersebut maka sebelumnya harus dipahami dahulu adalah apakah Ekonomi Islam itu. Tulisan ini akan sedikit memberikan gambaran tentang ekonomi Islami.
Untuk mempelajari ekonomi islami yang harus dipahami pertama kali adalah mengetahui kedudukan ekonomi islami dalam sistem Islam secara universal. Sebagaimana yang telah kita pelajari dalam pelajaran agama Islam sejak dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, sistem yang diatur dalam Islam meliputi penerapan dalam tiga hal , pertama : Aqidah, yang banyak membahas mengenai rukun iman, dimana ajaran ini memberikan dasar mengenai penanaman keyakinan terhadap enam rukum iman yang ada dalam islam. Kedua : Ahlak, dimana banyak dibahas mengenai sikap yang melahirkan perbuatan dan tingkah laku manusia dalam segala bidang hidup dan kehidupan yang bersumber kepada Al Qur’an dan Itroh Rasul saww. Serta yang ketiga adalah Syari’ah, dimana sebagai the way of life umat Islam maka Al Qur’an dan Itroh Rasul saww merupakan petunjuk jalan hidup dalam kegiatan ibadah dan muamalah.
Kegiatan ekonomi manusia menurut sistem dalam Islam merupakan salah satu bagian yang diatur dalam kegiatan muamalah selain bagian muamalah yang lain seperti hubungan sosial, budaya, hukum, politik dan sebagainya. Akan tetapi antara ketiga hal diatas, akidah (pegangan hidup), akhlak (sikap hidup) dan syariah (jalan hidup) merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Hal inilah yang merupakan letak dari ke-universal-an islam. Penerapan syariah Islam di bidang ekonomi haruslah dilihat sebagai bagian integral dari penerapan syariah islam di bidang-bidang lain. Oleh karena yang ingin dicapai adalah transformasi masyarakat yang berbudaya islami, maka nilai-nilai islam harus internalisasi dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain islam menjadi budaya masyarakat.
Sistem Pemikiran Ekonomi Islami Sebelum membahas mengenai sistem pemikiran ekonomi islami, yang pertama kali harus didefinisikan disini adalah pengertian dari sistem itu sendiri, kemudian harus dipahami hal-hal apa saja yang harus diperhatikan dalam membandingkan suatu sistem dengan sistem yang lainnya. Pengertian dari sistem adalah sekumpulan objek; ide atau kegiatan yang disatukan oleh sejumlah peraturan yang membentuk hubungan timbal balik atau saling ketergantungan.
Sistem mencakup dua dimensi yaitu apa yang diorganisasikan dan bagaimana komponen yang menyusunnya di hubungkan satu sama lain. Sedangkan ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam membandingkan suatu sistem. Ketiga hal tersebut meliputi : sistem itu sendiri, kebijakan yang ada dalam sistem itu, serta faktor-faktor yang menjadi cakupan dalam lingkungan dimana sistem itu berada (environment factor). Keberhasilan dan kegagalan dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya harus dilihat dari ketiga hal tersebut.
Basis fondasi mikro beberapa sistem pemikiran yang saat ini sudah berkembang yaitu Sistem Ekonomi Sosialisme, Sistem Ekonomi Kapitalisme dan Sistem Ekonomi Islami. Sebagaimana dalam bagan berikut dapat dilihat perbandingan dari ketiga basis fondasi mikro tiga sistem pemikiran yang ada saat ini.
Di mana Sistem ekonomi Sosialisme berpedoman pada paradigma Marxisme dengan dasar filosofis Dialektika-Materialistik memberikan basis fondasi mikro bahwa tidak ada kepemilikan pribadi dalam hal produksi. Kemudian Sistem Ekonomi Kapitalisme yang menjadikan paradigma ekonomi pasar sebagai cara pandangnya dengan basis fondasi mikro melihat manusia sebagai menusia ekonomi (homo economicus) dimana dasar filososfisnya bersumber pada paham Utilitarianisme, Individualisme dengan Laissezfaire.
Sedangkan Sistem Ekonomi Islami adalah sitem yang berdasarkan sisi pandang paradigma syariah dengan basis fondasi mikro melihat manusia sebagai seorang muslim (homo islamicus) yang tentunya tidak terlepas dari nilai-nilai (akidah) yang tercermin dalam sikap hidup manusia (akhlak). Sistem Ekonomi Islami sendiri menjadikan dasar filosofisnya bahwa manusia sebagai individualisme yang tunduk akan perintah Tuhan dan bertindak sebagai khalifah di muka bumi yang bertujuan mencapai falah (kemenangan, kebahagiaan) di dunia dan akhirat dengan mempertanggungjawabkan perbuatannya selama hidup di dunia. Kita tidak akan membahas lebih dalam dua sistem pemikiran yang disebutkan pertama, akan tetapi untuk sementara hanya membahas sistem pemikiran yang ada dalam ekonomi Islami.
Sistem pemikiran ekonomi Islami berbeda sekali dengan sistem pemikiran ekonomi modern yang sekular-positif (sosialisme dan kapitalisme). Sistem pemikiran ekonomi Islami dengan jelas sekali didasarkan pada nilai-nilai yang tidak diragukan kebenarannya. Aliran ekonomi Islam sarat dengan nilai-nilai yang merupakan asumsi yang harus terpenuhi dalam jalannya perekonomian, walaupun kenyataannya nilai-nilai ini juga perlu disesuaikan dengan keadaan. Dalam bagan tesebut dengan jelas sekali menggambarkam bagaimana sistem pemikiran ekonomi islami terbentuk. Dimana sumber utama ekonomi islami berasal dari Al Qur’an dan Itroh Rasul saww.
Hal ini tentunya membawa konsekuensi memandang manusia sebagai homo islamicus. Oleh karena itu bagian-bagian yang membentuk sistem, kebijakan sistem islami dan faktor lingkungan sosiologis masyarakat tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai yang terinternalisiasi dalam sumber kehidupan tersebut. Kemudian bagaimana sistem pemikiran ekonomi islami ini berinteraksi dengan sistem pemikiran yang lainnya.
Dalam bagan tersebut juga sudah cukup jelas bahwa sistem pemikiran ekonomi islami juga tidak menafikkan sistem pemikiran yang lain. Di mana pemikiran ekonomi yang lain, kondisi sosial budaya, kondisi ekonomi masyarakat, kondisi politik tidak dapat dilepaskan dalam mempengaruhi dan membentuk sistem ekonomi islami, di mana dalam sumber Islam baik dari Al Qur’an, Itroh Rasul saww dan fatwa marja, telah diatur semua hal yang tadi telah disebutkan.
Pertanyaan yang sering muncul dalam diskusi adalah bagaimana upaya penerapan ekonomi islam dimana masyarakat umum - khususnya ummat islam - masih terkungkung dalam suatu hegemoni sistem yang berkembang saat ini.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita bedakan penerapan ekonomi islami menjadi tiga level yaitu teori ekonomi islami, sistem ekonomi islami dan perekonomian umat Islam. Dalam hal pengembangan teori, telah banyak pemikiran-pemikiran ekonomi islami sebut saja misalkan pemikiran dari Bagir Sadr, Umer Chapra, Fahim Khan, Abdul Mannan, M.A. Choudury, Muhammad Arief, Abbas Mirakhor, Yusuf Qardhowi, dan lain-lain yang mencoba menjawab berbagai permasalahan dan tujuan hidup manusia terutama di bidang ekonomi.
Di lain pihak teori yang sudah berkembang saat ini (secara ekstrim diwakili sosialisme dan kapitalisme) sudah banyak dipertanyakan realitas dari pencapaian tujuan normative dari sistem tersebut yaitu negara kesejahteraan (welfare state), hal ini paling tidak oleh beberapa tokoh ekonomi yang mengembangkan teori itu sendiri seperti : Gunnar Myrdal - seorang peraih nobel ekonomi yang tidak bangga dengan penghargaan yang dia terima, Joan Robinson (Penemu teori Monopolistic Competition), Amartya Sen (peraih nobel 1998 di bidang ekonomi ), dan lain sebagainya.
Kemudian dalam hal penerapan sistem ekonomi islami maka teori-teori yang sudah dikembangkan tadi harus diterjemahkan kedalam bentuk peraturan-peraturan, baik dalam bentuk regulatory rule maupun constitution rule. Sedangkan dalam hal penerapan perekonomian ummat Islam maka yang harus dilakukan oleh ummat Islam adalah bahwa umat Islam harus mengusai perekonomian karena kalau tidak maka umat Islam hanya akan terus bergantung pada ummat yang lain.
Penegakan pada salah satu level saja tidak akan menghasilkan tegaknya syariah islam dalam bidang ekonomi. Jadi menegakkan perekonomian umat tidak cukup dengan sidiq, amanah dan tabligh saja, namun harus pula dilengkapi dengan fatonah yaitu kecerdasan dalam strategi berekonomi. Hal yang lebih mendesak lagi dalam hal pengembangan ekonomi islami adalah implementasi dari ketiga level tingkatan tersebut dalam kehidupan sehari-hari, sebagaimana yang dikatakan oleh Nurcholis Majid - seorang cendekiawan muslim Indonesia - dalam bukunya Islam, Doktrin dan Peradaban - bahwa suatu sistem ajaran, termasuk agama, tidak akan berfaedah dan tidak akan membawa perbaikan hidup yang dijanjikan, jika tidak dilaksanakan.
Sebagai penutup ada baiknya kita mencoba merenungkan apa yang terkandung dalam surat Al-Maidah ayat 3 yang artinya : Pada hari ini Ku sempurnakan agamamu, dan telah Ku cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku ridhai Islam itu jadi agamamu. Hal ini menunjukkan kepada kita bagaimana Allah SWT menggambarkan nikmat yang dianugerahkan kepada ummat manusia dengan sikap kecukupan.
Yang demikian ini merupakan pengabaran bahwa di dalam Islam tidak ada kekurangan, aib, celah dan sesuatu yang keluar dari hikmah di satu sisipun, tapi Islam adalah agama yang sempurna dalam kebaikan dan kebesarannya. Berangkat dari perenungan tersebut membawa konsekuensi kepada kita semua bahwa tidak mungkin kalau didalam ajaran agama Islam tidak ada tuntutan, petunjuk, sistem, dan cara pelaksanaan untuk memecahkan persoalan ekonomi yang teramat penting bagi manusia.
Wallohu alam bishowab.

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M. Syafi’i, Bank Syariah : Wacana Ulama dan Cendekiawan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999.
Arif, Muhammad, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 2, No. 2, Winter 1985, p. 87-103.
Bornstein, Morris, Comparative Economic System : Model and Cases, terj. Kelas Sistem Ekonomi FEUI 1999/2000, Jakarta, 1999.
Chapra, Umer, The Future of Economic : Landscape Baru Perekonomian Masa Depan, Shariah Economics and Banking Instintute (SEBI), Jakarta, 2001.
Chapra, Umer, Islam dan Tantangan Ekonomi, terj. Oleh Ikhwan Abidin B, Gema Insani Press dan Tazkia Institute, Jakarta, 2001
Ilyas, Daniel, Sistem Pemikiran Ekonomi Islami, Makalah dalam Diskusi Internal KEI FSI-SMFEUI (tidak dipublikasikan), Jakarta : 2001.
Karim, Adiwarman A, Penerapan Syariah Islam di Bidang Ekonomi. Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Shariah Economics Days 2001 oleh FSI-FEUI. 2001



Ilmu Ekonomi telah mati. Paul Ormerod, profesor ekonomi di London dan Manchester, meledek habis ilmu ekonomi ortodoks yang dibangga-banggakan oleh para ekonom. Teori-teori mereka, yang dibangun berdasarkan perhitungan matematis yang rumit, ternyata tidak dapat menyelesaikan permaalahan aktual. Ilmu Ekonomi menjadi mandul.
Lihatlah, IMF dan Bank Dunia--agen pengelola ekonomi ortodoks-- tampak kedodoran di beberapa belahan dunia. Program-program yang dirancangnya, alih-alih menolong negara-negara yang terjeat krisis, malah menambah kompleksitas persoalan. IMF mengatakan masyarakat Eropa mutlak butuh kesatuan moneter sendiri. Mereka juga merekomendasikan dibukanya ekonomi pasar yang semurni-murninya di bekas negara Uni Sovyet. Tapi apa lacur, Euro yang dimaksudkan menjadi pilar ketiga hard currency setelah dolar AS dan Yen, hingga sekarang masih babak belur. Sementara perekonomian di negerinya Gorbachev itu malah compang-camping dan marak kegiatan ekonomi bawah tanah justru setelah menerapkan resep IMF.
Indonesia setali tiga uang. Hutang Indonesia setelah IMF ikut campur, malah meningkat dua kali lipat. Rekomendasi IMF untuk melikuidasi 16 bank, salah satu penyebabnya. Garis kebijakan IMF agar Indonesia menerapkan sistem kurs mengambang bebas dengan mencabut batas intervensi rupiah sejak 14 Agustus 1997, telah embawa nasib rupiah yang fluktuatif hingga saat ini.
Sementara Malaysia yang menolak IMF dan menerapkan sistem kurs tetap yang jauh dari sistem pasar liberal, nyatanya malah menuai sukses. Ringgit Malaysia menjadi stabil dengannya. Kuncinya adalah ketika monetisasi yang luar biasa cepat dapat dikendalikan.
Dengan mengikuti liberalnya pasar, monetisasi di Indonesia begtu dahsyat terjadi. Modal gampang keluar masuk. Ketika Bank Dunia menggelari Indonesia sebagai bagian dari miracle of Asia karena pertumbuhan ekonominya yang seolah-olah tinggi, modalpun berdatangan. Trutama modal jangka pendek yang menyerbu melalui bursa. Belakangan ketika pintu krisis 1997 terbuka, dengan gampangnya modal terbang keluar. Jangankan asing, pengusaha lokalpun enggan memarkir dolarnya di negeri sendiri. Dampaknya langsung terasa, dolar langka di pasaran. Rupiahpun terpuruk. Sektor riil ambruk.
Agaknya Allah swt memang berkehendak lain dengan krisis. Karena krisislah orang mau mencari alternatif. Dan salah satu alernatif tersebut adalah ekonomi non-riba dengan segala instrumen moneter yang mendukungnya. Sistem moneter dunia yang digerakkan dengan instrumen riba, telah mengalami pendangkalan dan mengerucut pada monetisasi yang luar biasa. Uang dijadikan komoditas. Menurut data WTO, sejak tahun 1973 sampai tahun 1995, pertumbuhan jual beli uang jauh meninggalkan komoditas riil. Perbandingan jumlah komoditas yang diperdagangkan dengan jumlah uang sangat timpang. Perdagangan uang melesat 16 kali lebih cepat. Tak pelak, uang menjadi ajang spekulasi.
Keynes merumuskan permintaan uang (Md) sebagai Md=kY+L , di mana Y adalah tingkat pendapatan dan L adalah keinginan berspekulasi. Islam mengesampingkan keinginan spekulasi yang mengandung ghoror. Sehingga permintaan uang akan mencerminkan nilai dari aktivitas perekonomian riil. Praktis, uang tidak bisa dijadikan komoditas. Karena fungsi azali uang adalah sebagai standar penilaian aktivitas usaha riil. Jika fungsi penilaian ini dapat dicapai dengan jumlah uang yang tepat, maka pertumbuhan uang akan sama dengan pertumbuhan output. Hal inilah yang akan menstabilkan harga.
Dengan kata lain, penyakit yang terus menjangkiti perekonomian ribawi seperti inflasi, dengan sendirinya dapat terkendali. Dan karena komoditas sama dengan--atau paling tidak mendekati--jumlah uang, upah yang diterima buruhpun, secara riil, diharapkan tinggi. Pengangguran yang menjadi sahabat karib inflasipun dapat dikendalikan.
Tapi tentu semuanya tidak semudah itu. Inilah yang harus dikaji dan disosialisasikan. Yang jelas, Ilmu konomi belum mati!
Prayudi
Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEUI



Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang meliputi kegiatan penerimaan dan pengeluaran negara yang digunakan pemerintah untuk menjaga stabilitas ekonomi serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Kebijakan fiskal telah dikenal dalam ekonomi Islam sejak zaman Rasulullah saww.
Anggaran belanja negara adalah semua anggaran yang dikeluarkan oleh seluruh tingkat pemerintahan dari pusat hingga daerah. Anggaran belanja biasa disebut budget dan biasanya direncanakan setahun sebelumnya. Budget menggambarkan banyaknya uang yang akan dibelanjakan oleh pemerintah dan untuk keperluan apa saja.
Anggaran belanja atau budget dapat dikelompokkan berdasarkan selisih antara penerimaan dan pengeluaran:
1. 1. Budget Surplus; keadaan di mana penerimaan pemerintah melebihi pengeluarannya.
2. 2. Budget Deficit; keadaan di mana penerimaan pemerintah lebih kecil daripada pengeluarannya.
3. 3. Balanced Budget; keadaan di mana penerimaan pemerintah sama dengan pengeluarannya.
Untuk mengatasi defisit, cara yang paling umum dilakukan adalah meningkatkan penerimaan negara melalui pajak dan/atau meminjam dana masyarakat atau pihak lain dengan menerbitkan obligasi. Apabila dibutuhkan pinjaman dari pihak lain, haruslah dipastikan kemampuan untuk mengembalikannya. Untuk negara yang pasar obligasinya tidak berkembang dengan baik, alternatif lain yang dapat dilakukan adalah mencetak uang (uang primer M1).
Rasulullah saww tidak suka melakukan budget deficit. Pengeluaran hanya boleh dilakukan apabila ada penerimaan. Pada masa Rasulullah saww, defisit hanya terjadi satu kali yaitu sebelum Perang Hunain (pada saat Fathul Makkah). Defisit terjadi karena banyak orang yang masuk Islam (mu’allaf), sehingga pengeluaran Baytul Maal lebih besar dari penerimaannya.
Walaupun sejarah menunjukkan bahwa pada zaman Ibn Furad (Abbasiah), defisit pernah terjadi selama 16 tahun, dalam kasus ini tentu saja kita harus membedakan antara Islam sebagai konsep yang sempurna dengan orang-orang yang “menerapkannya” dalam kehidupan.
Sumber penerimaan berasal dari zakat, infaq, shodaqoh, khumus, ghonimah (rampasan perang), jizya (pajak yang dibayar non-muslim), kaffarah (denda), warisan tanpa ahlinya, dll.
Perekonomian dibangun berdasarkan usaha riil. Pertumbuhan diciptakan dengan :
1. 1. Peningkatan produksi total (produktivitas) dengan intensifikasi dan ekstensifikasi produksi, peningkatan SDM, dan peningkatan modal (kapital). Kapital diarahkan sebesar mungkin ke sektor produktif, bukan konsumtif.
2. 2. Meningkatkan permintaan agregat (AD) dengan meningkatkan pendapatan masyarakat melalui peningkatan partisipasi kerja, dan pemerataan distribusi pendapatan melalui instrumen zakat, infaq, shodaqoh, dll.
Anggaran dimanfaatkan untuk menstimulus peningkatan produktivitas yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan permintaan agregat. Anggaran disusun dengan berpegang pada asas keadilan dan pemerataan, bukan sekedar mementingkan pertumbuhan namun tanpa memperhatikan pemerataan yang akan melahirkan konglomerasi dan penguasaan sumber daya pada segelintir orang. Alokasi anggaran harus tepat sehingga menciptakan suasana perekonomian yang berkeadilan, sehingga sumber daya dapat dimanfaatkan secara optimal oleh banyak orang, bukan hanya segelintir orang.


Prayudi
Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEUI



Konsep Bagi Hasil


Pembahasan menyangkut konsep bagi hasil atau Profit-Loss Sharing (PLS) ternyata bukan hanya menjadi konsen bagi Muslim saja. Di Barat, beberapa ekonom seperti Holmstrom, Stiglitz, Weitzman, Stadler, dan Castrillo di antara sedikit ekonom yang ikut mengupas konsep PLS. Pembahasan yang sudah dilakukan termasuk optimalisasi kontrak dalam berbagai macam kondisi. Dalam pembahasan itu, diuraikan beberapa aspek yang menjadi pembeda antara lain tingkat informsi yang didapat pihak-pihak yang melakukan kontrak, preferensi, serta tingkat dari ketidakpastian produksi dari usaha yang dilakukan.Kontrak bagi hasil pada dasarnya memberikan keleluasan bagi mudhorib (pengguna dana, peminjam) untuk menentukan tingkat optimalisasi usaha yang akan dilakukannya. Inez-Stadler (1996) menurunkan fungsi sharing sebagai alat ukur indeks berapa tingkat bagi hasil yang diharapkan berdasarkan preferensi pihak-pihak yang melakukan kontrak (karena berbagai keterbatasan formula matematiknya tidak dikemukakan di sini).Baldwin (1998) dengan persamaan matematiknya membuktikan pula bahwa transaksi sharing sangat rasional. Sementara penelitian Kuhn-Tucker berhasil menggambarkan kondisi simetrik (dipenuhinya informasi bagi masing-masing pihak yang bertransaksi) memenuhi asas rasionalitas dan Pareto Optimal (pengukuran efisiensi dari alokasi dan distribusi sumber daya yang paling optimal). Dalam kondisi ideal dimana masing-masing pihak mendapatkan akses terhadap informasi secara lengkap (informationally symmetric) konsep bagi hasil merupakan satu pilihan yang optimal (first best solution). Namun tentu tak akan ada kondisi ideal karena masing-masing pihak tidak mungkin mendapatkan informasi yang sempurna. Ketidaksempurnaan ini akan meningkatkan tingkat risiko dari pihak-pihak yang melakukan kontrak. Sekedar sebagai contoh, shohibul maal (kreditor) memberikan pinjaman kepada mudhorib (debitor). Namun karena miskinnya informasi berkait dengan tingkat pengembalian (expected return) dari suatu usaha, maka pihak pemilik modal sangat terbuka akan mengalami kemungkinan kerugian.Ketidaksempurnaan InformasiDalam kontrak bagi hasil, shohibul maal akan menghadapi beberapa masalah yang potensial. Itu terjadi karena tidak sempurnanya akses informasi yang dimiliki oleh pihak-pihak yang melakukan kontrak. Dua masalah yang paling menonjol adalah: (1) sulitnya menilai tingkat kegiatan usaha debitor (unobservable effort) dan (2) terbatasnya akses informasi khususnya menyangkut tingkat produktifitas usaha (hidden productivity).Tentang keterbatasan informasi itu, kondisi ideal memang belum bisa didapatkan. Karena belum bisa mendapatkan kondisi ideal menyusul tidak sempurnanya informasi yang diterima, inilah yang harus diulas lebih jauh. ada dua jenis ketidaksempurnaan informasi (incomplete information): bersifat alamiah dan kurangnya informasi sebagai karena sudah didisain/disengajakan (engineered asymmetric information). Risiko bisnis termasuk dampak dari kurangnya informasi. Dan ini masih bisa diterima. Sedangkan, miskinnya informasi yang diterima karena unsur kesengajaan, jelas tidak diperbolehkan. Yang salah dalam ekonomi konvensional, mereka memindah begitu saja risiko bisnis menjadi risiko yang harus dibayar lebih mahal (risk premium) atau lebih sering disebut sebagai discount rate.Tabel 1
Pendapatan yang pasti
Pendapatan yang tidak pasti
Disebut sebagai bunga
disebut discount rate
Bunga riil didifinisikan sebagai pilihan konsumsi saat ini untuk konsumsi masa depan

Bunga nominal = bunga riil ditambah dengan ekspektasi inflasi


Discoun rate= bunga riil + harapan inflasi + bea premium karena ketidakpastian
Dengan demikian, dalam pengerrtian ilmu ekonomi konvensional, pendapatan dalam kondisi ketidakpastian diubah menjadi pendapatan dalam kondisi ada kepastian dengan menarik bea premium. Namanya juga investasi, selalu saja ada kemungkinan untuk mendapatkan hasil (return), rugi (negative return) atau tak mendapat keuntungan apa-apa (no return). Karena pandangan ini, muncul konsep ketidakpastian. Kemungkinan investasi akan menghasilkan kerugian dan nihil sama sekali inilah yang kemudian ditutup dengan bea premium karena alasan ketidakpastian.Bila kondisi di atas dijabarkan lebih lanjut, maka ilustrasi berikut akan menggamblangkan kenapa Islam melarang konsep premium for uncertainty.Tabel 2
Keadaan
Ketidakpastian alamiah
(kemungkinan)
Discount rate
(kemungkinan)
Pendapatan positif
0,4
1,0
Tidak ada pendapatan
0,2
0,0
Pendapatan negatif
0,4
0,0
Kondisi itu (tabel 2) mencerminkan transaksi yang tak dibolehkan oleh Islam. Dalam figh, itulah yang disebut dengan istilah al ghunmu bi la ghurmi (memperoleh pendapatan (return) tapi tak mau bertanggung jawab pada risiko). dan al kharaj bi la dhaman (mau memperoleh penghasilan (income), tapi tidak mau mengeluarkan biaya).Pilihan kontrakLebih lanjut jenis kontrak dalam bagi hasil. Untuk menentukan jenis kontrak yang akan dipilih, persoalannya tidak gampang bagi Muslim. Sebab, mereka sekurangnya harus mengantongi dua persyaratan sekaligus, baru kontrak boleh dijalankan. Syarat pertama, tentulah kontrak harus memberikan jaminan pendapatan yang bagus, dan yang kedua, tidak boleh tidak, kontrak tidak boleh melenceng dari pedoman syariah. Konsep syariah mengajarkan menyangga usaha secara bersama, baik dalam membagi keuntungan atau sebaliknya menanggung kerugian. Anjuran itu antara lain adalah transparansi dalam membuat kontrak (symmetric information), penghargaan terhadap waktu (effort sensitive), amanah (lower preference for opportuniy cost), Bila ketiga syarat tersebut dipenuhi, model transaksi yang terjadi bisa mencapai apa yang disebut di muka kontrak yang menghasilkan kualitas terbaik (the best solution).Namun, seperti telah diurai di depan, keterbatasan informasi telah membuat ikondisi ideal tidak tercapai. Dampaknya, ekspektasi pendapatan menjadi rendah. Dalam hal hasil akhir, kualitas transaksi sharing sangat tergantung pada sedikitnya tiga faktor utama. Pertama, akses terhadap informasi (transparansi). Dengan kepemilikan informasi yang cukup, akan mengurangi kondisi moral hazard. Dengan demikian, para pelaku transaksi bisa saling mengukur bagaimana ekspektasi usahanya apakah akan mendatangkan hasil optimal atau sebaliknya. Kedua, preferensi dari pelaku transaksi. Nila transaksi dilakukan secara amanah dan terbuka, akan secara efektif menurunkan moral hazard. Beberapa transaksi bagi hasil dimana diberikan insentif bonus bila transaksi mencapai tingkat prestasi tertentu, diharapkan dapat meningkatkan kualitas transaksi. Ketiga, standar akuntansi yang memadai. Salah satu syarat yang menentukan keberhasilan bagi hasil adalah sistem akuntasni yang sesuai dengan prinsip syariah. Konsep ini harus memberikan panduan tentang penentuan difinisi pendapatan dan biaya. Juga, tentang tingkat risiko dari transaksi.


Prayudi
Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEUI


Koperasi Syariah

Filosofi koperasi secarä umum sudah mendekati konsep syariah. Namun, masih diperlukan beberapa penajaman bahkan perubahan, agar benar-benar sesuai syariah. Apakah koperasi syariah itu ada? Ini sungguh pertanyaan menggelitik di tengah arus deras upaya Islamisasi di bidang ekonomi.
Dalam kelembagaan ekonomi Islam, kita sudah mengenal perbankan syariah, asuransi syariah (takaful), dan bahkan reksadana syariah. Lantas bagaimana dengan koperasi syariah? Sementara orang ada yang mengatakan, koperasi adalah satu bentuk lembaga ekonomi yang sesuai dengan syariah. Namun, ada pula yang menganggap, karena berasal dari Barat, maka tanpa pandang bulu koperasi tentu tidak sesuai dengan syariah Islam.
Koperasi lahír di Eropa sebagai perlawanan terhadap praktik-praktik ekonomi negatif yang timbul setelah revolasi industri di Inggris. Penemuan-penemuan di bidang teknologi telah menggeser tenaga manusia, dan menggantikannya dengan tenaga mesin. Pergeseran itu telah membuat upah buruh menjadi rendah, sehingga untuk menutupi kebutuhannya. Buruh terpaksa kerja lembur, bahkan anak-anak dan istri terpaksa ikut bekerja.
Celakanya, pasokan kebutuhan konsumsi dikuasai para pengusaha sehingga harganya berada dalam kendali mereka. Kondisi itulah yang melahirkan koperasi di kota Rochdale, Inggris. Ketika itu sekelompok pekerja di kota tersebut merumuskan dan mendirikan satu lembaga yang kemudian disebut koperasi.
Makna koperasi sendiri adalah kumpulan orang yang memiliki kebutuhan atau kepentingan ekonomi yäng sama, dan bermaksud memenuhi kebutuhan atau kepentingan tersebut melalui organisasi yang dimodali, dikelola, dan diawasi secara bersama-sama.
Usaha-usaha yang dilakukan koperasi haruslah sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan ekonomi anggotanya. Karena untuk kepentingan anggota sendiri, sudah barang tentu komoditas atau barang yang dijual mestmya barang yang berkualitas baik dan bukan palsu atau yang timbangannya tidak sesuai. Koperasi harus mampu menunjang ekonomi anggotanya, bukannya malah mematikannya.
Untuk mampu menjalankan usaha-usaha seperti yang disebutkan di atas, koperasi haruslah menjalankan mekanisme sebagai berikut:
1. Keanggotaan terbuka dan sukarela;
2. Pengelolaan dilakukan secara terbuka;
3. Satu orang satu suara sebagai cerminan demokrasi;
4. Pembatasan bunga atas modal;
5. Pembagian sisa hasil usaha (SHU) sesuai dengan kontribusi dan transaksi anggota ke koperasi;
6. Pendidikan anggota dilakukan terus menerus; dan
7. Membangun jaringan antarkoperasi.
Melihat paparan di atas, rasanya sebagian besar konsep dasar koperasi sudah sejalan dengan syariah. Tinggal sedikit penajaman dan modifikasi pada beberapa aspek, sehingga koperasi memiliki jiwa syariah secara sempurna. Penyesuaian itu, misalnya, berupa landasan koperasi syariah yang harus sesuai Alquran dan Sunah dengan dijiwai semangat saling menolong (ta’aawun) dan saling menguatkan (takaaful).
Koperasi syariah semestinya menegakkan prinsip-prinsip Islam seperti:
1. Meyakini bahwa kekayaan adalah amanah Allah yang tidak dapat dumiliki siapa pun secara mutlak;
2. Kebebasan muamalah diberikan kepada manusia sepanjang masih bersesuaian dengan syariah Islam;
3. Manusia merupakan khalifah Allah dan pemakmur bumi;
4. Menjunjung tinggi keadilan dan menolak semua bentuk ribawi dan pemusatan sumber daya ekonomi pada segelintir orang.
Karena tidak mengenal bentuk ribawi, maka bunga atas modal tidak ada dalam koperasi syariah. Konsep bunga diganti dengan sistem bagi hasil. Demikian pula dalam hal kebersamaan, dalam koperasi syariah bukanlah diartikan sebagai demokrasi dengan satu orang satu suara. Namun, kebersamaan harus diterjemahkan sebagai musyawarah.
Kalau dilihat dari keberadaan simpanan pokok, wajib, dan suka rela, pada dasarnya koperasi syariah dapat didirikan atas dasar prinsip syirkah mufawadhah dan syirkatul inan. Syirkah mufawadhah adalah perkongsian antara dua orang atau lebih, dengan masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (simpanan pokok dan wajib)yang sama. Sedangkan siinpanan suka rela tergantung pada masing-masing anggota. Bentuk-lain adalah syirkatul inan, yaitu perkongsian dua orang atau lebih dengan kontribtísi dana dari masing-masing anggota kongsi bervariasi. Dana itu dikembangkan bersama-sama dan pembagian keuntungarmya berdasarkan kesepakatan bersama.
Satu hal yang harus disepakati bersama, misi utama koperasi adalah mengembangkan kesejahteraan anggota melalui investasi dan usaha-usaha lainnya. Maka dari itu, pinjaman anggota untuk kegiatan produktif harus diutamakan. Sedangkan pinjaman untuk kegiatan konsumtif seyogianya sangat dibatasi.
Prayudi




Menuju Landscape Baru Perekonomian Masa Depan


Selama dunia masih terbelah dalam dikotomi negara kaya dan negara miskin, negara maju (developed) dan negara terbelakang (underdeveloped), di situlah ilmu ekonomi seharusnya berkembang. Karena persoalan ekonomi akan terus muncul, dan pada saat yang sama juga menuntut penyelesaian mendasar yang membawa terciptanya kesejahteraan dalam arti yang sesungguhnya bagi umat manusia.Karena itulah, banyak kalangan sempat menaruh harapan banyak ketika untuk pertama kalinya jargon ekonomi kesejahteraan (welfare Economics) ditiupkan tahun 30-an. Kelelahan panjang dalam perangkap diskusi dan impelementasi ekonomi kapitalis-sosialis ternyata menyisakan limbah yang menyesakkan bagi pertumbuhan ekonomi yang bersendikan kepada keadilan dan pemerataan. Hal ini memicu mereka melihat welfare economics datang dengan segenggam harapan yang sudah lama mereka inginkan.Apa lacur, seperti sistem yang dikenal sebelumnya, Welfare Economics hanya menjanjikan impian kosong. Menurut Chapra, 'kesejahteraan' yang dijanjikan oleh aliran baru itu masih tunduk pada hegemoni ekonomi konvensional. Kesejahteran didifinisikan sebagai bentuk keinginan individu yang menginginkan kepentingan pribadi yang tak memberikan ruang pada sikap altruisme (sikap mementingkan orang lain) atau kepentingan langsung demi kesejahteraan manusia. Pendekatan ekonomi kesejahteraan pantas menerima kritikan. Blaug menyatakan, ekonomi kesejahteraan sekedar bersuka ria dengan menggunakan bahasa yang paradoks (1980).Welfare Economics, seperti konstruksi ilmu ekonomi kapitalis sebelumnya, selalu mendasarkan analisis kesejehteraan yang bebas nilai. Di mana hukum pareto efficiency atau juga sering disebut pareto optimally menjadi salah satu pisau analisa dalam membuka tabir kegiatan ekonomi. Dalam pandangan pareto, tanpa campur tangan siapapun akan terjadi proses produksi seluruh konfigurasi barang dan jasa dalam keharmonisan maksimum terhadap keinginan konsumen. Disebut paling efisen, karena tidak mungkin lagi meraih lebih dari itu tanpa menjadikan pihak lainnya merugi. Di sinilah Werfare Economics kandas karena pada akhirnya tidak bisa memberikan jaminan konsisten tentang tujuan-tujuan yang berdimensi kemanusiaan. Juga, berapa banyak kesejahteraan yang bisa diujudkan dalam batasan sumber daya yang terbatas, tanpa merusak keseimbangan makroekonomi dan ekologi.Beban yang tak juga bisa diselesaikan oleh Welfare Economics inilah yang kini menjadi konsen banyak ahli ekonomi untuk selalu dicari jalan keluarnya. Sejumlah ekonomi telah menekankan perlunya sebuah paradigma baru ilmu ekonomi. Terjadilah pegumulan ide dan debat intelektual yang pada akhirnya memberikan ruang bagi munculnya kesadaran bahwa kepentingan pribadi dan kompetisi bukanlah penentu utama di balik tindakan manusia.Mereka mulai memberikan tempat pada altruisme, nilai moral, perbuatan-perbuatan sosial, yang membimbing motivasi manusia dalam bertindak. Sekurangnya ada tiga aliran yang mainstreamnya berasal dari kesadaran ini.Pertama, Grant Economics yang berpendapat tingkah laku altruisme bukanlah penyelewengan dari rasionalitas. Rasionalitas diartikan sebagai usaha untuk melayani diri sendiri. Dengan berpijak pada prinsip itu, maka kerangka berpikirnya selalu diliputi oleh pemenuhan nafsu pribadi. Sampai-sampai ekonom Milton Friedman mengatakan,"Satu-satunya tanggung jawab sosial adalah meningkatkan keuntungan." (Friedman, 1972). Tesis Friedman ini yang ditentang oleh aliran Grant Economics. Menurut mazhab ekonomi ini, mempersamakan tingkah laku rasional dengan hanya tingkah laku mementingkan diri sendiri adalah tidak realistis. " Ilmu ekonomi mungkin sudah melakukan kesalahan ketika ia mengadopsi tatanama rasional pada sat seluruh pengertiannya diartikan sebagai kalkulasi yang tepat dan sebuah kepribadian yang teratur,"ujar Hahn (1979).Arus pemikiran kedua, muncul Humanistic Economics (ekonomi humanistik). Tesis dasar mereka, bagaimana mempromosikan kesejahteran manusia lewat cara pengakuan dan penyatuan seluruh susunan nilai-nilai dasar manusia. Humanistic Economics lebih menekankan adanya kebutuhan kepuasan dan pekembangan manusia yang oleh Maslow dipopulerkan dengan aktualisasi pribadi. Pendekatan ini mulai menyingkikan asas psikologi klasik yang mementingkan kepada nafsu dan kekayaan.Aliran ketiga, adalah Social Economics (ekonomi sosial) yang mencakup usaha dalam mereformulasi teori ekonomi dalam membentuk pertimbangan-pertimbangan etika. Dasar dari pandangan ini menyatakan, penelitian ilmiah ternyata tidak mampu menepis pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut tujuan publik dan prioritas sosial dalam alokasi sumber daya. Menurut peraih nobel, Amarta Sen (1987), menjauhkan ilmu ekonomi dari sendi etika, telah memelaratkan Welfare Economics. Di samping, tandasnya, juga melemahkan landasan keterkaitan yang erat antara deskriptif dan prediktif ilmu ekonomi.Aliran keempat, Institutional Economics (ekonomi institusional). Aliran ini berargumentasi bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh sejumlah hubungan institusi soosial, institusi ekonomi, institusi politik dan institusi relijius yang menentukan perkiraan sikap individu. Awalnya, aliran ini menjanjikan perubahan yang cukup mendasar karena dapat membantu menjelaskan tentang bagaimana perubahan pada institusi-institusi di setiap masa mempengaruhi masa sekarang dan masa depan, dan mengapa kinerja ekonomi yang satu mempengaruhi ekonomi yang lain. Ini dapat membantu koordinasi dan sejumlah kerja sama.Namun toh kehadiran aliran-aliran ekonomi tersebut masih menyisakan ruang gelap: bagaimana memperoleh nilai yang dapat diterima secara luas dan sesuai dengan kewajiban moral, sehingga setiap orang yang melanggar nilai tersebut akan dikecam. Inilah yang tidak bisa dijawab oleh ekonomi konvensional. Dari sinilah Chapra membawa kepada loncatan paradigma baru yang mestinya bisa memenuhi harapan-harapan yang gagal sebelumnya: perspektif ekonomi Islam.Bukan hal mudah memmang membuka ke pada jantung diskusi untuk membahas masalah ini bisa diterima oleh banyak ekonom. Blaug bahkan mengingatkan, semua rumusan metodologi yang bermaksud menyapu bersih seluruh catatan ilmu ekonomi yang diterima dan berusaha memulai sejak dari awal kembali, mungkin tidak akan menghasilkan apa-apa seperti merusak diri sendiri. Blaug boleh saja mengatakan demikian, tapi, ilmu ekonomi Islam yang tujuan pokoknya menghadirkan keadilan dan efisiensi yang tidak lagi mendalilkan kemutlakan pada keinginan memuaskan diri sendiri, tapi kesejahteraan bersama, terus berjalan.Paradigma ilmu ekonomi yang ditawarkan Islam sangat berbeda dengan ilmu ekonomi konvensional. Paradigma Islam bukanlah sekuler, bebas nilai, materialis, dan mengedepankan Darwinisme-sosial yang menutup mata terhadap kemiskinan dan pengangguran hanya karena memuaskan kepentingan sendiri. Paradigma ilmu ekonomi Islam mendasarkan pada kenyataan pokok, alam semesta diciptakan oleh Yang Maha Tunggal. Manusia menjadi wakil-Nya di muka bumi. Mereka bersaudara, dan tidak ada yang membedakan satu dengan yang lain lantaran ras, kekayaan, jenis kelamin, kebangsaan maupun kekuatan. Dunia dimaklumi sekedar sebagai tempat persinggahan sementara. Sementara yang lebih kekal adalah alam akherat. Kesejahteraan di akherat sangat ditentukan oleh cara-cara manusia semasa mereka hidup. Kesejahteraan hakiki dalam kerangka syariah tidak melulu direalisasikan dengan mengkonsentrasikan diri pada upaya maksimasi kekayaan dan konsumsi, ia juga memerlukan pemenuhan kebutuhan material dan spiritual yang seimbang.PositivismeParadigma Islam, seperti ilmu ekonomi konvensional, juga menekankan seseorang untuk bersikap rasional. Bahkan, itu menjadi salah satu tujuan terpenting dari syariah. Doktrin yang sangat terkenal adalah mengurangi kesulitan dan berusaha untuk menjadikan hidup manusia lebih nyaman (Quran 2:185). Karena dorongan ini, Islam menyilakan siapapun untuk menjadi kaya dengan rasionalitasnya. Hanya, satu yang harus dicatat mereka, kekayaan itu diperoleh dengan cara yang benar, tidak menzhalimi siapapun, dan dipergunakan atau diinvestasikan secara produktif untuk memenuhi kebutuhan seseorang atau kebutuhan orang lain dengan cara yang adil.Inilah yang tidak bisa dipenuhi oleh mekanisme pasar. Almawardi sebagaimana ilmuwan Islam lain seperti Ibnu Khaldun menganggap, perlunya tekad untuk mengekang keinginan pribadi melalui nilai-nilai moral. Melalui nilai moral, akan menghilangkan asa saling permusuhan dan iri hati, memperkuat solidaritas kelompok dan mendorong kebajikan.Karena itu, hampir tidak ditemukan jejak dalam perkembangan ilmu ekonomi Islam yang melandaskan pijakan pada sikap positivisme--satu dari sendi penting ekonomi konvensional. Positivisme atau bebas nilai dari etika atau pertimbangan-pertimbangan normatif, bertentangan dengan kondisi bahwa apa yang dikuasai manusia hanyalah sekedar titipan-Nya. Seluruh sumber daya adalah amanah dari Tuhan dan karenanya, manusia akan dimintai pertanggungjawabannya kelak.Prinsip keadilanKarena sumber daya hanyalah titipan, maka penggunaaan sumber daya yang salah akan dimintai pertanggungjawaban. Oleh sebab itu, tidak ada pilihan lain bagi pelaku ekonomi dalam melakukan aktivitas bisnisnya untuk selalu mendasarkan pada keadilan. Nilai keadilan dalam Al-Quran maupun hadis Nabi bahkan menjadi salah satu tujuan pokok syariah.Prinsip keadilan inilah yang menggilas, penilaian Efisiensi Pareto yang mendasarkan untuk mendapat keuntungan, tidak bisa tidak harus merugikan orang lain. Keadilan dalam berekonomi, oleh para ulama telah ditetapkan dalam kaidah figh yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan. salah satu kaidah yang mereka rumuskan itu antara lain ada yang menyatakan: pengorbanan atau kerugian pribadi mungkin diharuskan untuk mengamankan pengorbanan atau kerugian publik dan manfaat yang lebih kecil mungkin harus dikorbankan untuk merealisasikan manfaat yang lebih besar. (Ibnu Khaldun).Demikian pula halnya dengan term efisiensi. Islam tidak mengenal istilah efisiensi Pareto. Namun bukan berarti tidak mengakui konsep efisiensi. Rosul yang mulai mengajarkan pada upaya untuk berusaha meraih hasil yang terbaik dengan menekankan pada konsep ikhsan (kemurahan hati) dan itqan (kesempurnaan). "Allah Subhanahu wataala mencintai seseorang yang jika mengerjakan sesatu ia melakukannnya dengan sempurna (itqan)." dan sabdanya yang lain,"Allah Subhanahu wa tangala telah mewajibkan ihsan atas segala sesuatu."Praktis dalam Islam, efisiensi salah satunya berkembang sebagai bentuk tidak boleh menghambur-hamburkan sumber daya secara keliru karena akan dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan. Tentu ini berbeda dengan pengetahuan efisiensi dalam pengertian Pareto. Sebagai contoh, konsep Pareto dalam ilmu ekonomi konvensional membolehkan adanya penghancuran kelebihan out put apabila itu memberikan bagi pebisnis dalam mencegah penurunan keuntungan tanpa merugikan konsumen akibat kenaikan harga. Tapi ini tidak dikenal dalam pandangan Islam.Sebabnya, tingkah laku demikian hanya akan menimbulkan perusakan pada sumber daya yang diamanatkan Tuhan di samping bisa melahirkan kezaliman terhadap konsumen. Kelebihan out put itu mestinya bisa dinikmati oleh kaum miskin, ketimbang dihancurkan yang berarti kemubaziran.

Pertanyaan penting dalam setiap pembahasan ekonomi adalah bagaimana suatu pasar bisa mencapai keseimbangannya tanpa diganggu oleh distorsi? Ilmu ekonomi konvensional mengajarkan, satu-satunya distorsi yang ditakuti adalah ketidaksempurnaan dan kegagalan pasar. Membaca kegagalan ini, mereka, para ekonom konvensional, telah mengajukan resep mujarab. Dalam terminologi mereka, persoalan kegagalan pasar adalah ancaman laten, namun bisa diatasi dengan mendasarkan pada pada Pareto Optimum atau Efisiensi Pareto.Setiap perekonomian bisa dikatakan mencapai efisiensi ekonomi yang optimal bila bila telah menggunakan potensi sumber daya manusia dan materi yang terbatas sehingga kuantitas barang dan jasa yang diproduksi bisa memaksimumkan kepuasan kebutuhan dengan tingkat stabilitas ekonomi yang baik dan tingkat pertumbuhan yang berkesinambungan. Demikian mereka mendifinisikan.Namun batasan ini toh tetap tanpa cela. Sebab, dengan kaca mata itu, seolah-olah hanya efisiensi saja yang tersentuh, tapi bagaimana dengan dimensi keadilan?Setiap perekonomian baru bisa dikatakan memberikan rasa keadailan optimal jika barang dan jasa yang dihasilkan sedemikian rupa sehingga kebutuhan semua individu (tak peduli mereka miskin atau kaya, laki atau perempuan, muslim atau nonmuslim) memuaskan secara memadai. Di samping terdapat distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil tanpa menimbulkan pengaruh buruk terhadap motivasi bekerja, menabung, berinvestasi, dan melakukan usaha.Di sinilah jantung yang menentukan perbedaan mendasar antara ilmu ekonomi konvensional dengan Ilmu ekonomi yang disusun dengan berdasar sendi relijius. Ilmu Ekonomi Islam pada dasarnya, seperti hanya ekonomi konvensional, tetap bermain pada konsentrasi alokasi dan distribusi sumber daya. Hanya saja, tujuan utama dari pengelolaan alokasi dan distribusi itu tidak boleh melenceng dari maqashid syar'i (tujuan syariah). Kalau ilmu ekonomi konvensional meletakkan sendi keseimbangan pada Optimalitas Pareto, Chapra menyebut dalam islam ada Optimum Islami. Optimum Islami digambarkan sebagai keseimbangan pasar yang mencerminkan realisasi secara terus menerus tingkat efisiensi maupun keadilan yang optimal sesuai dengan maqashid syar'i.Dalam literatur Islam, maqashid syar'i itu mencakup peningkatan kesejahteraan seluruh manusia. Itu hanya bisa tercapai bila ada perlindungan kepada lima hal dasar: perlindungan terhadap keimanan (dien), jiwa manusia (nafs), akal mereka (aql) keturuanan mereka (nasl), dan kekayaan mereka (maal).Keimanan ditempatkan di awal, karena keimanan akan melahirkan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian, perilaku, selera dan preferensi. Keyakinan ini mencoba meningkatkan keseimbangan antara dorongan material dan spiritual, meningkatkan solidaritas keluarga dan sosial. Ini cerminan instrumen moral dalam berekonomi. Bukan berarti mengganti sistem mekanisme pasar dengan istrumen moral. Sebaliknya, moralitas melengkapi mekanisme pasar dengan menjadikan alokasi dan distribusi sumber daya sesuai dengan pandangan normatif. Demikian juga dengan tujuan-tujuan syar'i yang lain. Ketika seorang bicara dimensi manusia (tujuan kedua), tentu bukan dalam konteks biologis semata. Lebih penting lagi adalah, bagaimana manusia mempengaruhi alokasi dan distribusi sumber daya dalam tata cara pandang yang membantu perkembangan potensi manusia. Bahwa, bumi yang sekarang mereka pijak dan terus diesploitasi, bukanlah hak mereka saja, tapi juga warisan absah bagi generasi mendatang. Konsekuensinya, alokasi sumberdaya harus selalu memikirkan kesinambungan buat kehidupan jangka panjang, dan bukan seblaiknya menghancurkan ekologi.Ketika berbicara mengenai akal (dimensi ketiga), orang akan menganilis jenis dan kondisi mental dan materi yang akan memberikan konstribusi kepada kemajuan intelektual. Ketika berbicara tentang, keturuanan (dimensi keempat), sekali lagi bukan sekedar cakupan biologis saja, tapi juga, yang lebih penting, adalah aspek pelestarian dan pengayaan ummat manusia. Ketika berbicara mengenai kekayaan, orang akan selalu diingatkan bahwa kekayaan adalah titipan dari Tuhan. Ada haknya yang melekat, tapi juga ada fungsi sosial untuk orang lain. Jadi, dengan memperhatikan maqashid tersebut, akan lebih memberikan kerangka kerja yang lebih berarti bagi analisis ekonomi. Satu yang pasti, dengan cara pandang ini, ekonomi terhindar dari melihat manusia sebagai individu yang terpisah atau terkotak sendiri-sendiri, tapi diperlakukan sebagai kehidupan yang terpadu dengan komunitasnya.Berangkat dari sini, Ilmu ekonomi Islam dapat didifinisikan sebagai cabang ilmu pengetahuan yang membantu mewujudkan kesejahteraan manusia melalui alokasi dan distribusi sumberdaya yang langka yang sesuai dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu secara berlebihan, menimbulkan ketidakseimbangan makro ekonomi dan ekologi, atau melemahkan keluarga dan solidaritas sosial.Maqashid syar'i menyandingkan antara keadilan yang optimal dan seklaigus efisiensi optimal. Pertanyaan yang muncul: apakah mungkin menyandingkan suatu kondisi keadilan yang optimal tanpa mengorbankan efisiensi? Pada tahun 50-an dan 60-an para ahli ilmu ekonomi pembangunan bukan saja mengabaikan keadilan tapi juga lebih mementingkan pertumbuhan. Mereka berpendapat bahwa redistribusi pendapatan yang menguntungkan orang miskin kemungkinan tidak akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam arti out put perkapita yang lebih besar. Pandangan mereka, distribusi untuk orang miskin hanya akan tercapai bila pertumbuhan dapat diakselerasi. Pada kondisi seperti itulah terjadi apa yang sangat populer dikenal di sini sebagai tricle down effect (efek perembesan ke bawah). Mereka yakin tricle downlah yang akan menyelesaikan problem kemiskinan dan distribusi pendapatan.kenyataan membuktikan sebaliknya. Tricle down menjadi senjata ampuh untuk menggagalkan upaya untuk mempecepat pertumbuhan di negara-negara dimana kurang adanya perhatian untuk menghilangkan keadilan. Indonesia salah satu yang mengecap ini. Mantan Presiden Soeharto semasa berkuasa yakin betul konsep penetasan ke bawah akan menjadi alat pemerataan keadilan. Karena itu, dia berdalih tidak ada yang salah bila orientasi negara dalam ekonomi lebih menumpukan pada uapaya mempercepat dan mempertinggi pertumbuhan ekonomi. Dia tidak ragu, meskipun hela ekonomi yang dipegang oleh segelintir pengusaha yang terus difasilitasi dan dimanjakan pemerintah. Muncullah konglomerasi karena hanya konglomerat yang mendapatkan perhatian yang besar dan menjadi mesin ekonomi bangsa. Sedang usaha kecil menengah (UKM), dan koperasi yang menjadi soko guru ekonomi dipinggirkan. Alhasil jargon adil dan makmur yang selalu didengungkan Orde baru menyempit pada "keadilan" bagi yang sudah "makmur", bukan bagi orang kebanyakan.Indonesia mestinya mengambil pelajaran dari Jepang, Taiwan dan Korea Selatan. Negara-negara itulah yang membalik logika tricle down. Bahwa pertumbuhan hanya bisa tercipta dengan baik bila keadilan juga ditekankan secara bersamaan. Sehingga terjadi arus balik dalam pemahaman terhadap eonomi pembangunan. Ilmu ekonomi pembangunan selanjutnya menelurkan kepedulian tehadap keadilan dengan himbauan akan 'pertumbuhan dengan distribusi', pengurangan dan penghapusan kemiskinan, dan memenuhi kebutuhan dasar.

Prayudi
Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEUI

Manajemen Islami


Manajemen modern yang berasal dari Barat cenderung mengasingkan manusia dari manusia di sekitarnya. Manajemen Barat juga menganggap tenaga kerja merupakan faktor produksi belaka sehingga menciptakan manusia-manusia yang semakin hari semakin terasing dari kodratnya sebagai manusia sosial. Manajemen modern ala Barat menghasilkan manusia-manusia yang bekerja sampai larut malam tanpa ada lagi kesempatan untuk berkumpul dengan keluarga atau melaksanakan kehidupan sosial dengan masyarakat di sekitarnya.
Dalam Islam, manajemen dipandang sebagai perwujudan amal sholeh yang harus bertitik tolak dari niat baik. Niat baik tersebut akan memunculkan motivasi aktivitas untuk mencapai hasil yang bagus demi kesejahteraan bersama.
Ada empat landasan untuk mengembangkan manajemen menurut pandangan Islam, yaitu kebenaran, kejujuran, keterbukaan, dan keahlian. Seorang manajer harus memiliki empat sifat utama itu agar manajemen yang dijalankannya mendapatkan hasil yang maksimal.
Yang paling penting dalam manajemen berdasarkan pandangan Islam adalah harus ada sifat ri'ayah atau jiwa kepemimpinan. Kepemimpinan menurut Islam merupakan faktor utama dalam konsep manajemen.
Manajemen menurut pandangan Islam merupakan manajemen yang adil. Batasan adil adalah pimpinan tak ''menganiaya'' bawahan dan bawahan tak merugikan perusahaan. Bentuk penganiayaan yang dimaksudkan adalah mengurangi atau tak memberikan hak bawahan dan memaksa bawahan untuk bekerja melebihi ketentuan. Jika seorang manajer mengharuskan bawahannya bekerja melampaui waktu kerja yang ditentukan, maka sebenarnya manajer itu telah mendzalimi bawahannya. Dan ini sangat ditentang oleh Islam. Seyogianya kesepakatan kerja dibuat untuk kepentingan bersama antara pimpinan dan bawahan.
Islam juga menekankan pentingnya unsur kejujuran dan kepercayaan dalam manajemen. Nabi Muhammad saww adalah seorang yang sangat terpercaya dalam menjalankan manajemen bisnisnya. Manajemen yang dicontohkan Nabi Muhammad saww menempatkan manusia sebagai postulatnya atau sebagai fokusnya, bukan hanya sebagai faktor produksi yang semata diperas tenaganya untuk mengejar target produksi.
Nabi Muhammad saww mengelola (manage) dan mempertahankan (mantain) kerjasama dengan stafnya dalam waktu yang lama dan bukan hanya hubungan sesaat. Salah satu kebiasaan Nabi adalah memberikan reward atas kreativitas dan prestasi yang ditunjukkan stafnya. Manajemen Islam pun tak mengenal perbedaan perlakuan (diskriminasi).
Ada empat pilar etika manajemen bisnis menurut Islam seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad saww. Pertama, 'tauhid' yang berarti memandang bahwa segala aset dari transaksi bisnis yang terjadi di dunia adalah milik Allah, manusia hanya mendapatkan amanah untuk mengelolanya.
Kedua, 'adil', artinya segala keputusan menyangkut transaksi dengan lawan bisnis atau kesepakatan kerja harus dilandasi dengan ''akad saling setuju'' dengan sistem profit and lost sharing.
Pilar ketiga adalah 'kehendak bebas.' Manajemen Islam mempersilakan umatnya untuk menumpahkan kreativitas dalam melakukan transaksi bisnisnya sepanjang memenuhi asas hukum ekonomi Islam, yaitu halal.
Dan keempat adalah 'pertanggungjawaban.' Semua keputusan seorang pimpinan harus dipertanggungjawabkan oleh yang bersangkutan.
Keempat pilar tersebut akan membentuk konsep etika manajemen yang fair ketika melakukan kontrak-kontrak kerja dengan perusahaan lain atau pun antara pimpinan dengan bawahan.
Ciri manajemen Islami adalah amanah. Jabatan merupakan amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Allah. Seorang manajer harus memberikan hak-hak orang lain, baik mitra bisnisnya ataupun karyawannya. Pimpinan harus memberikan hak untuk beristirahat dan hak untuk berkumpul dengan keluarganya kepada bawahannya. Ini merupakan nilai-nilai yang diajarkan manajemen Islam.
Ciri lain manajemen Islami yang membedakannya dari manajemen ala Barat adalah seorang pimpinan dalam manajemen Islami harus bersikap lemah lembut terhadap bawahan. Contoh kecil seorang manajer yang menerapkan kelembutan dalam hubungan kerja adalah selalu memberikan senyum ketika berpapasan dengan karyawan dan mengucapkan terima kasih ketika pekerjaannya sudah selesai. Bukankah memberikan senyum salah satu bentuk ibadah dalam Islam. Namun, kelembutan tersebut tak lantas menghilangkan ketegasan dan disiplin. Jika karyawan tersebut melakukan kesalahan, tegakkan aturan. Penegakkan aturan harus konsisten dan tak pilih kasih.
Untuk aspek keadilannya, Islam menekankan pentingnya reward control dalam suatu hubungan kerja. Islam mengajarkan kita harus bersyukur kepada manusia sebelum bersyukur kepada Allah. Artinya, seorang karyawan yang berprestasi tinggi mendapat penghargaan khusus. Bentuk penghargaan bukan hanya berupa materi, tapi juga berupa perhatian. Berapa di antara manajer yang ada di Indonesia yang mengetahui tanggal lahir karyawannya terdekatnya?
Selain itu, setiap pekerjaan harus dilandasi dengan niat yang baik. Karena, niat baik akan menuntun kita melakukan pekerjaan dengan baik untuk hasil yang baik pula. Islam mengajarkan sesuatu harus diawali dengan niat baik.

Menjadi Manajer yang Ri'ayah
Bila Anda ingin menjadi manajer yang ri'ayah (berjiwa pemimpin):
1. Berikan perhatian atau kepedulian kepada bawahan.
2. Buat perencanaan kerja yang baik.
3. Bersungguh-sungguh dan teliti dalam melaksanakan rencana kerja.
4. Lakukan pengawasan secara terus-menerus.
5. Lakukan evaluasi hasil secara berkala.
6. Tegakkan disiplin dalam waktu kerja.
7. Memikul tanggung jawab terhadap hasil akhir.



Meneladani Rasul dalam Berdagang



Membayangkan Singapura, negeri dengan luas sepersembilan kali pulau Bali, kita jadi iri. Singapura, tak memiliki ragam budaya seperti halnya pulau Dewata yang membuat orang manca terpesona. Singapura juga bukan Brunai, yang memiliki kekayaan minyak luar biasa. Tapi negeri ini menjadi makmur, karena menempatkan dirinya sebagai pusat perdagangan.Dagang, salah satu urat nadi terpenting sendi perekonomian mereka. Sejak dari masa Sir Stamford Raffles berkuasa di sana (1819), hingga kini, perdagangan adalah jiwa Singapura. Barang-barang dari negeri Asia Tenggara, mengalir melewati Singapura menuju Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat.Dari galangan dan dermaga mereka, kapal berlayar membawa kopra, kayu gelondongan, rempah-rempah. Kapal lain, membawa produk elektronika, minyak bumi olahan, dan barang industri yang mencerminkan Singapura sebagai salah satu negara manufaktur terpenting di Asia Tenggara. Pendeknya mereka mempunyai fasilitas gudang dan penanganan kapal yang bisa dikata salah satu yang termodern di dunia.Tapi bukan itu saja yang membuat Singapura menjadi ternama dalam urusan dagang. Mereka meraih kepercayaan dari pebisnis di seluruh dunia karena, sistem pemerintahan yang terkenal bersih. Kesadaran untuk menerapkan prinsip kehidupan yang relatif jujur, yang menjadi prasyarat utama berhasilnya usaha dagang, juga terlihat dalam banyak upaya pemeringkatan.Singapura sekedar tamsil. Yang penting di telaah di sini adalah, kenapa profesi dagang yang telah mengantarkan kepada kemakmuran itu tidak banyak dilakukan di negara-negara muslim? Padahal, bukankah, tauladan mereka, Nabi Muhammad saww juga seorang pedagang tangguh?Lebih dari 14 abad silam, Muhammad saww sebelum mencapai jenjang kerasulannya, telah dikenal sebagai pebisnis muda yang disegani. Untuk sampai pada tataran itu, bukan jalan mudah. Seperti yang kebanyakan dikeluhkan para pengusaha, Muhammad saww pun tidak memiliki cukup modal. Jangankan modal, dirinya pun hanya hidup sederhana mendompleng di rumah pamannya, Abu Thalib ra, yang papa.Tapi berdagang adalah seni. Modal yang sebenarnya adalah kejujuran dan keadilan dalam transaksi. Prinsip-prinsip inilah yang dijalankan Muhammad saww dan sekarang banyak diadopsi oleh negeri semacam Singapura.Afzalurrahman dalam Muhammad as a Trader menulis, kunci sukses berdagang Nabi terletak pada sikap jujur dan adil dalam mengadakan hubungan dagang dengan para pelanggan. Itulah yang selalu dia tunjukkan ketika menjadi agen saudagar kaya Siti Khadijah ra -- yang kemudian menjadi isti tercinta -- untuk melakukan perdagangan ke Syiria, Jerussalem, Yaman dan tempat-tempat lain. Dalam perjalanan perdagangan itu, Nabi mendapatkan perolehan keuntungan di luar dugaan. Nabi menandaskan kejujuran dan agar menjaga hubungan yang baik dan ramah kepada para pelanggan maupun mitra dagang.Prinsip Nabi, pedagang yang tak jujur, meskipun sesaat mendapatkan keuntungan banyak, tapi pelan tapi pasti akan gagal dalam menggeluti profesinya. Karena itu, dia selalu menasehati sahabat-sahabatnya untuk melakukan hal serupa. Apalagi saat Nabi memimpin ummat di Madinah. Praktek-praktek perdagangan yang mengandung unsur penipuan, riba, judi, ketidakpastian dan meragukan, eksploitasi, pengambilan untung yang berlebihan dan pasar gelap belia larang. Nabi juga memelopori standardisasi timbangan dan ukuran.Nabi sangat konsen dengan kejujuran. Sampai-sampai, orang yang jujur dalam berdagang, digaransinya masuk dalam golongan para nabi. Abu Sa'id meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata, "Saudagar yang jujur dan dapat dipercaya akan dimasukkan dalam golongan para nabi, orang-orang jujur dan para syuhada."Sikap baik dalam berdagangDalam urusan dagang, nabi selalu bersikap sopan dan baik hati. Jabir meriwayatkan bahwa Rasulullah berkata, "Rahmat Allah atas orang-orang yang berbaik hati ketika ia menjual dan membeli, dan ketika dia membuat keputusan." (HR Bukhari).Nabi juga menghindari sikap belebihan dalam berdagang, seperti banyak bersumpah. Tentang hal ini, nasehat Rasulullah, "Hindarilah banyak bersumpah ketika melakukan transaksi dagang, sebab itu dapat menghasilkan penjualan yang cepat, lalu menghapuskan berkah."Nabi sangat membenci orang-orang yang dalam dagangnya menggunakan sumpah palsu. Beliau mengatakan, pada hari kiamat nanti, Allah tidak akan berbicara, melihatpun tidak kepada orang yang semasa hidup berdagang dengan menggunakan sumpah palsu.Hak-hak kelompok dalam transaksiDalam proses pertukaran barang dengan persetujuan antara kedua belah pihak, seringkali ada konflik. Untuk menghindari ini, Nabi telah meletakkan dasar, bagaimana transaksi seharusnya terjadi. Ibnu 'Umar meriwaytakan dari Rasulullah, "Kedua kelompok di dalam transaksi perdagangan memiliki hak untuk membatalkannya hanya sejauh mereka belum berpisah, keculai transasksi itu menyulitkan kelompok itu untuk membatalkannya." (HR Bukhari dan Muslim).Dalam riwayat lain disebutkan, "Kedua belah pihak dalam transaksi perdagangan berhak membatalkan, selama mereka tidak berpisah. Jika mereka berkata benar, menjelaskan sesuatunya dengan jernih, maka transaksi mereka akan mendapatkan berkah. Tapi jika menyembunyikan sesuatu serta berdusta, maka berkah yang ada dalam transaksi mereka akan terhapus." (Bukhari dan Muslim).Bila berpegang pada sekelumit teladan Nabi itu, mestinya umat Islam sudah menjadi bagian terdepan dalam penguasaan ekonomi dunia. Tapi sayangnya, banyak ajaran Nabi dalam berdagang yang dilupakan. Kalau ingin perdagangan umat semaju seperti Singapura, mestinya prinsip-prinsip dagang Rasul tidak dijadikan kenangan, tapi pegangan. Kiat-kiat praktis berdagang Nabi* Pertama, penjual tidak boleh berbohong dan menipu barang yang akan dijual kepada pembeli. Nabi bersabda, "Apabila dilakukan penjualan, katakanlah: tidak ada penipuan."* Kedua, kepada para pelanggan yang tak mampu membayar kontan hendaknya diberikan waktu untuk melunasinya. Bila betul-betul dia tidak mampu membayar setelah masa tenggat pengunduran itu, Nabi akan mengikhlaskannya.* Ketiga, penjual harus menjauhi sumpah yang berlebih-lebihan, apalagi sumpah palsu untuk mengelabui konsumen.* Keempat, hanya dengan kesepakatan bersama, atau dengan suatu usulan dan penerimaan antara kedua belah pihak, suatu bentuk transaksi barang akan sempurna.* Kelima, penjual harus benar dalam timbangan dan takaran.* Keenam, orang yang benar-benar membayar di muka untuk pembelian suatu barang, tidak boleh menjualnya sebelum barang tersebut benar-benar menjadi miliknya.
* Ketujuh, larangan melakukan transaksi monopoli dalam perdagangan. "Barang siapa yang melakukan monopoli, maka dia adalah pendosa."* Kedelapan, tidak ada harga komoditi yang boleh dibatasi. Jika harga dibatasi, lalu tidak ada perusahaan dagang dan niaga, maka perdagangan dunia akan terhenti.

Prayudi
Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEUI

Menggugat Mekanisme Pasar

Mekanisme pasar makin dominan datam perekonomian saat ini. Apakah ini satu-satunya alternatif? Bagaimana Islam memandangnya?
Mekanisme pasar yang merupakan tulang punggung perekonomian kapitalis, kini makin dipandang oleh mayoritas ekonom sebagai satu-satunya mekanisme yang paling unggul dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya. Apalagi ketika perekonomian sosialis mengalami kebangkrutan, keyakinan para pengamat makin kuat terhadap mekanisme pasar sebagai satu-satunya mekanisme perekonomian yang sesuai dengan tuntutan masyarakat dunia.
Kuatnya keyakinan ini direfleksikan padas seruan-seruan untuk kembali kepada peran swasta yang lebih besar dalam ekonomi dan memperkecil peran dan intervensi sektor publik dalam mengelola perekonomian.
Kecenderungan ini tidak saja melanda negara-negara maju seperti di Eropa dan Amerika, melainkan juga negara-negara industri baru dan berkembang. Resep-resep kebijakan pembangunan yang direkomendasikan oleh lembaga-lembaga donor pun banyak mencerminkan kecenderungan demikian ítu. Fenomena ini dicerminkan juga pada kecenderungan untuk menghapuskan subsidi dalam segala sektor perekonomian, liberalisasi perdagangan, sistem nilai tukar mata uang yang bebas dan fleksibel, gerakan modal ínternasional yang bebas, dan deregulasi dalam sektor riil dan perbankan (moneter).
Sementara itu di sisi lain, terdapat perkembangan baru yang mencoba bangkit dengan konsep yang komprehensif dan integratif sehingga menjadikan pasar yang lebih adil dan manusiawi. Kekuatan ini berasal darí konsep yäng dikembangkan oleh para ekonom Muslim yang merasa terpanggil untuk berjihad secara intelektual dalam bidang ekonomi. Ekonomi Islam (Islamic Economics), begitulah namanya, telah menjadi isu hangat di kalangan ekonom dalam dua dasa warsa terakhir ini.
Keterbatasan Mekanisme Pasar
Dalam kesempatan ini, penulis hendak memaparkan kelemahan mekanisme pasar dari sudut pandang ekonom Barat sendiri. Dalam bukunya yang bejudul Economics,Paul dan Ronald Wonnacott menulis enam kelemahan mekanisme pasar.
Pertama, sekalipun pasar memberikan kebebasan individu lebih tinggi kepada para pemain di dalamnya,ia hanya memberikan kepada si lemah kebebasan untuk merasakan lapar dan tersingkir. Kenyataan menunjukkan dalam mekanisme pasar yang bebas dan berjalan baik, banyak orang kaya dapat memberikan makanan yang lebih bergizi untuk anjingnya daripada si miskin memberikan makanan kepada diri dan keluarganya. Beberapa gelintir orang dapat membeli lukisan berharga jutaan dolar, namun di sisi lain masih banyak orang yang tidak dapat makan tiga kali dalam sehari .
Kedua, dalam suatu sistem perekonomian pasar yang tidak diatur, akan terjadi keadaan yang sangat tidak stabil dengan inflasi tinggi, diikuti oleh resesi yang tajam. Bila ini terjadi, segenap lapisan masyarakat akan menderita.
Ketiga, dalam sistem laissezfaire, harga-harga di pasaran tidak selalu mencerminkan kekuatan pasar yang tidak memihak. Harga-harga yang mencerminkan mekanisme murni permintaan dan penawaran, hanya terjadi pada pasar bersaing sempurna. Namun pasar ini hanya ada dalam teori.Faktanya, para produsen senantíasa memiliki kekuasaan untuk mempermainkan harga dan pasar cenderung berbentuk monopolis, oligopolis, dan persaingan tidak sempuma.
Keempat, pasar tidak menggubris efek eksternalitas seperti polusi udara dan air dan penurunan kualitas kehidupan fisik.
Kelima, dalam wilayah-wilayah tertentu, kadang-kadang terjadi kegagalan pasar. Jika ini ada, maka pemerintahlah yang harus mengambil alih komando.
Keenam, dalam sebuah perekonomian dengan mekanisme pasar yang baik, dunia usaha mampu memenuhi keinginan konsumen dengan sangat baik. Namun harus disadari, konsumen bersedia membeli produk tidak selalu didorong oleh keinginan riil pribadinya yang independen, tetapi sering lebih dipengaruhi gencarnya iklan di berbagai media. Preferensi dan cita rasa konsumen telah didikte oleh imajinasi yang ditimbulkan oleh promosi.
Terlalu mengandalkan mekanisme pasar bisa menyesatkan. Lihatlah contoh ini. Di sebuah kota X permintaan beras untuk kebutuhan masyarakat adalah 500.000 liter per bulan. Jumlah ini dapat dipenuhi oleh distributor beras yang ada di sekitar kota itu. Nah, apa yang terjadi jika ternyata 300.000 liter dari beras yang sedianya dikonsumsi masyarakat kota X itu ternyata ditimbun oleh para spekulan (yang bisa jadi distributor itu sendiri) untuk memainkan harga? Bagi produsen (petani), hal ini tak jadi soal, yang penting berasnya habis.
Dalam mekanisme pasar yang butá dan tuli, pola permintaan seperti ini pun tak perlu dirisaukan. Produsen beras dibayar dengan harga pasar, sementara para spekulan yang menjadi konsumen juga membayar dengan wajar.
Namun jika dilakukan pemantauan ketat, ternyata 15% penduduk hanya makan sekali sehari. Juga sebagian masyarakat terpaksa tidak dapat makan nasi lagi. Di sisi lain, para spekulan dapat berenang dalam kolam beras.
Maka mekanisme pasar ini telah menjadi sebuah mekanisme resmi pembunuh manusia. Contoh ini memang ekstrem, tetapi sering hadir di masyarakat dalam berbagai variasi. Oleh karena itu, Islam memberikan arahan kepada pemeluknya agar memperhatikan kondisi sosio-ekonomi tempat ia tinggal. Rasulullah saww bersabda, “Bukanlah orang yang beriman, manakala ia tidur kekenyangan sementara tetangga sebelahnya kelaparan dan ia tahu akan hal itu.” (HR Tabrani & Baihaqi).
Jelaslah bahwa terdapat sejumlah segmen masyarakat yang tidak dapat ikut bermain dalam pasar dan karenanya, tidak akan tersentuh oleh mekanisme ini lantaran tidak punya uang untuk membayar harga. Mereka yang tidak mampu membayar harga, merupakan korban dari keganasan pasar.
Oleh karena itu, mekanisme pasar dan harga harus dilengkapi dengan intervensi pemerintah yang bertujuan membantu dan memberdayakan segmen masyarakat yang terpaksa tidak dapat berpartisipasi di dalamnya agar dapat hidup sejahtera sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Prayudi


Jurus merger acap kali ditawarkan sebagai langkah maju bagi dua atau lebih perusahaan untuk menciptakan sinergi. Layaknya obat, merger bagi pihak tertentu akan terasa pahit karena tuntutan efisiensi biasanya dibarengi oleh pemangkasan tenaga kerja. Tapi bagi investor dengan kaca mata Islam, persoalan merger tidak berhenti di situ saja. Ada pertanyaan lain yang lebih substansial : apakah merger itu menghasilkan suatu entitas yang produknya (barang maupun jasa) bisa dibenarkan dalam batas-batas syariah?
Inilah yang harusnya diperhatikan oleh para investor Muslim sebelum melakukan investasi di bursa saham. Yang harus dicermati sejak awal adalah kemungkinan risiko terjadinya akuisisi maupun merger. Sebab bila ada rencana akuisisi maupun merger, maka status boleh tidaknya saham itu dibeli dapat berubah.
Sebagai contoh, merger antara America Online dengan Time Warner Entertainment menjadi AOL - Time Warner Inc.. Sebelum melakukan meger, America Onlne adalah perusahaan yang sahamnya dapat dibeli oleh investor Muslim karena aktivitas dan hasil aktivitasnya (output : produk : barang / jasa) tidak bertentangan dengan syariah Islam. America Online secara langsung maupun tidak, berbisnis dalam sektor jasa interaktif, web brands, teknologi internet dan jasa perdagangan melalui e-business.
Pada sisi lain, Time Warner sejak semula adalah perusahaan yang tidak sesuai dengan syariah Islam karena usahanya terkait dengan dunia hiburan. Time Warner Entertainment Company (TWE) didirikan tahun 1992 untuk menguasai dan mengendalikan bisnis Warner Bros., Home Box Office (HBO) dan TV kabel.
Setelah merger dilakukan, secara syariah, status saham perusahaan America Online berubah menjadi haram untuk dibeli investor Muslim.
Jadi berhati-hatilah bila Anda hendak menginvestasikan dana Anda di lantai bursa. Cari tahu dulu, halal atau haram. Selamat berinvestasi!
Prayudi
Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEU









Riba : Dari Pendeta Nasrani Sampai Mc Kinsey


Dan jika kamu meminjamkan sesuatu kepada orang karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah jasamu? Orang-orang dosa pun meminjamkan kepada orang berdosa, supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tapi kasihilah musuhmu dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan baik tidak mengharapkan balasan. Maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Tuhan yang Maha Tinggi, sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak mau berterima kasih dan terhadap orang-orang jahat. (Lukas 6:34-35).
Petikan Lukas 6:34-35 itu dengan gamblang menunjukkan dilarangnya praktik membungakan uang (riba). Larangan riba, ternyata terdapat baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Karena itu, para pendeta Nasrani pada awal abad I-XII menyerukan dihapusnya praktik itu.Mereka meminta agar bunga dikembalikan kepada pemiliknya. Bunga dalam pandangan mereka adalah bentuk yang diminta sebagai imbalan yang melebihi jumlah barang yang dipinjamkan di awal. Termasuk di sini harga barang yang tinggi untuk penjualan kredit, juga termasuk bunga terselubung.
Sejalan dengan waktu, larangan itu mulai dikritisi oleh para scholar Kristen. Di antara mereka ada Robert of Courcon (1152-1218), William A (1160-1220), St Raymond of Pennatore (1180-1278), St Bonaventure (1221-1274), dan Thomas Aquinas (1225-1274). Para cendekiawan Kristen itu memilah bunga menjadi dua interest dan usury.
Yang menyebut bunga sebagai usury itu berasal dari kata Latin usura yang berarti 'menggunakan' (use) sesuatu. Dalam konteks ini menggunakan modal, sehingga usury adalah harga dari menggunakan uang. Sedang yang menyebut interest berasal dari akar kata bahasa Latin interio yang berarti 'untuk kehilangan' (to be lost).
Ada juga yang mengatakan interest berasal dari bahasa Latin interesse yang bermakna 'datang di tengah' (to come in between) yaitu kompensasi kerugian yang muncul di tengah transaksi bila si peminjam tidak mengembalikan sesuai waktu. Dari sinilah kemudian penyimpangan ajaran gereja muncul, karena bunga dipandang sebagai kompensasi kehilangan atau kerugian.
Pelaku yang membungakan pinjaman mulai mendapatkan angin ketika muncul para reformis seperti Martin Luther (1483-1536), Zwingli (1454-1531), Bucer (1491-1551), dan John Calvin (1509-1564). Mereka berpendapat bunga itu dosa kalau memberatkan. Mereka juga merekomendasikan untuk tidak mengambil bunga dari orang miskin. Dengan begitu secara implisit bunga tidak berdosa bila dikenakan dengan cara yang tak memberatkan. juga, bila bunga dipungut dari orang kaya. Pada periode itulah Raja Henry VIII memutuskan berpisah dengan gereja Katolik Roma, dan pada tahun 1545 riba resmi dibolehkan di Inggris asalkan tidak lebih dari 10 persen. Pada tahun 1571 Ratu Elizabeth I kembali membolehkan riba. Dan dibebaskannya praktik riba itu terus berlangsung hingga sekarang.
Kini umat Nasrani tidak merasa 'berdosa' lagi melakukan praktik itu. Sementara umat Islam -- di Indonesia -- terbelah dalam menanggapi riba bank. Seperti yang telah dilansir dari penelitian Bank Indonesia, 55 persen responden di Jawa (kecuali DKI), mengatakan riba tidak bertentangan dengan agama alias 'halal'.
Islam dan Nasrani yang sama-sama agama samawi menegaskan, riba tidak boleh dilakukan. Tapi waktu sangat perkasa mengubah keyakinan itu. Waktu pula yang telah dan akan terus mengingatkan bahaya riba dan pembungaan.
Pengalaman Indonesia mengalami krisis yang panjang, adalah salah satunya. Ketika Indonesia di puncak krisis (1997-1998), bunga telah menunjukkan eksploitasinya yang luar biasa bagi kehidupan ekonomi bangsa.
"Deposan mendapatkan bunga 60-70 persen, sementara bank-bank yang baik maupun buruk mengalami kesulitan yang luar biasa, bahkan sebagian besar dari bank-bank tersebut bangkrut," demikian analisis Mc Kinsey & Co.
Waktu telah berbaik hati. Ingatan kita yang pendek disadarkan kembali betapa rusaknya praktik bunga dengan datangnya krisis. Bila tidak sadar juga, paling-paling, waktu akan melibas lagi dengan krisis yang lebih dalam.

Prayudi
Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEUI


Sektor Riil Syariah


Setelah lembaga keuangan syariah berkecambah, lantas apa yang perlu segera dipupuk dan disiangi untuk mendukung sektor ini? Mestinya sektor riil yang berbasiskan syariah ditumbuhkan. Nantinya perlu ada asosiasi hotel syariah, produk makanan syariah, dsb.
Perkembangan sektor moneter syariah yang tanpa diimbangi oleh sektor riil yang sepadan pada akhirnya akan membuat sektor moneter syariah stagnan. Bila sektor riil syariah ikut bergerak, maka akan tercapai apa yang disebut sebagai ekuilibrium antara perbankan syariah dan sektor riilnya.
Hal lain yang mulai perlu dipikirkan adalah bagaimana mulai menggeser porto-folio perbankan syariah yang didominasi oleh murabahah (skim jual beli). Sistem ini 'mirip-mirip' dengan sistem konvensional di mana unsur bunganya digantikan dengan semacam fee. Cara ini lebih berbau commercial banking dan kurang kompetitif.
Perbankan syariah akan mendapatkan margin yang lebih besar bila mulai menggeser alokasi porto-folionya untuk kegiatan yang berkaitan langsung dengan investasi, baik dengan menggunakan skim mudharabah (bagi hasil) atau musyarakah (kemitraan antara bank dan nasabah dengan menyisihkan modal tertentu untuk mendanai proyek).
Perbankan syariah tidak akan berkembang bila pertalian dengan sektor riil tidak terjalin erat. Untuk tujuan ini, perlu ada kajian-kajian dan langkah-langkah serta usaha-usaha nyata yang dilakukan untuk mendukung proses perkembangan sektor moneter yang seimbang dengan bergeraknya sektor riil
Prayudi



Tiga Sudut Pandang Ekonomi Islam



Sama tujuan, beda pandangan. Ini juga terjadi dalam memahami dan menggali ekonomi Islam. Ekonom Islam telah membuat garis damarkasi yang jelas antara ilmu ekonomi konvensional dan ilmu ekonomi Islam. Keduanya tidak mungkin dikompromikan, karena keduanya didasarkan pada paradigma yang berbeda. Namun ketika kepada mereka disodorkan bagaimana menjelaskan dan mengkonsep ekonomi Islam itu, muncullah perbedaan pendapat yang tajam.Setidaknya, sampai saat ini, seperti disampaikan pakar ekonomi Islam Adiwarman A Karim, pemikiran ekonom muslim kontemporer terbagi dalam tiga kubu dengan cara pandang yang khas dan berbeda satu sama lain. Mereka adalah madzab Baqir as-Sadr, madzhab mainstream, dan madzhab alternatif-kritis.Madzhab pertama dipelopori oleh Baqir As-Sadr melalui buku fenomenal: Iqtishaduna (ekonomi kita). Belakangan muncul tokoh-tokoh pendukung yang ikut mempopulerkan madzhab ini seperti Abbas Mirakhor, Baqir al-Hasan, Kadim as-Sadr, Iraj Taotounchian dan Hedayati.Dalam buku Iqtishaduna, Baqir memaparkan betapa ilmu ekonomi (economics) tidak akan pernah sejalan dengan Islam. Secara ketat dia menegaskan, ilmu ekonomi tetaplah ekonomi, dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak bisa disatukan karena terlahir dari filosofi yang secara diametral bertentangan: anti-Islam dan Islam.Perbedaan yang tajam itu mencuat pada mencoloknya perbedaan pandangan dalam melihat dan memetakan masalah ekonomi. Sebagai misal, dalam melihat problema mendasar dari ekonomi. Ilmu ekonomi menjelaskan persoalan ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tak terbatas, sementara sumberdaya yang bisa digunakan untuk memuaskan keinginan itu sangat terbatas.
Madhzab Baqir menolak pandangan ini. Mereka menyebut Islam tidak mengenal adanya sumberdaya yang terbatas. ''Sungguh Kami telah menciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.'' Dalil yang mereka petik dari Alquran 54:49 itu menjadi rujukan betapa sumberdaya sudah diciptakan Allah dalam ukuran yang tepat. Dengan demikian segala sesuatunya sudah terukur dengan sempurna, karena Allah telah memberikan sumberdaya yang cukup bagi seluruh ummat manusia di dunia.Akan halnya sumberdaya yang terbatas yang mereka tolak, mereka juga menampik pandangan bahwa keinginan manusia itu tak terbatas. Sebagai contoh, manusia akan berhenti minum setelah dahaganya terpuaskan. Contoh yang sangat mudah dimengerti ini, bahkan dalam literer ilmu ekonomi konvensional dikenal dengan Hukum Gossen.Lalu apa persoalan ekonomi yang sebenarnya? Madzhab Baqir menjelaskan, persoalan ekonomi muncul sebagai akibat adanya sistem ekonomi yang membolehkan adanya eksploitasi dari yang kuat terhadap yang lemah. Mereka yang kuat memiliki akses terhadap sumberdaya sehingga seolah menggenggam kunci untuk membuka sumberdaya untuk terus memupuk kekayaannya. Sedangkan yang lemah tidak memiliki akses yang sama sehingga terus terkepung oleh kemiskinan yang terus-menerus membuatnya makin papa.Dalih inilah yang mereka ajukan untuk menjungkirbalikkan argumen ekonomi konvensional dan seklaigus menandaskan, persoalan ekonomi bukanlah karena sumberdaya yang terbatas. Persoalan ekonomi muncul karena keserakahan manusia yang tidak terbatas.Berdasarkan gambaran ini, mereka menolak istilah ilmu ekonomi Islam. Istilah itu mereka katakan sebagai bentuk yang menyesatkan dan kontradiktif, dan kerenanya penggunaan istilah ilmu ekonomi Islam harus dihentikan. Alternatifnya, mereka mengusulkan istilah Iqtishad yang berakar dari terminologi Islam sendiri.Istilah Iqtishad bukanlah sekedar mengalihbahasakan ekonomi dalam kosakata Arab. Sebab, menurut mereka, istilah itu dalam bahasa aslinya merujuk pada arti ''keadaan sama'', ''seimbang'' atau ''pertengahan'' yang dalam bahasa ekonomi lebih dikenal dengan ekuilibrium.Upaya penggantian istilah kemudian berlanjut pada radikalisasi yang mengerucut pada penolakan dan pembuangan seluruh ilmu ekonomi konvensional. Sebagai pengganti, mereka menuliskan sendiri teori-teori ekonomi yang digali dan dideduksi dari Al-quran dan As-Sunnah.{Madzhab Mainstream}Berbeda dengan Baqir, Madzhab Mainstream malah mendukung rumusan yang telah digulirkan ilmu ekonomi konvensional. Persoalan ekonomi, menurut madzhab ini, terjadi karena sumberdaya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tak terbatas.Uniknya untuk mendukung teorema ini, tak kalah dengan Baqir, mereka juga merujuk dari dalil Alquran. ''Dan Sungguh akan Kami uji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.'' Jelaslah betapa sumberdaya memang terbatas seperti diakui sendiri oleh Al Quran 2:155 itu.Lebih konkret lagi mereka mencontohkan, total permintaan dan penawaran beras di seluruh dunia memang akan berada pada titik ekuilibrium. Namun kenyataan itu akan berbeda bila dilihat dari sisi tempat dan waktu. Pada sisi ini akan sangat mungkin terjadi kelangkaan sumberdaya. Dan inilah yang sering terjadi. Suplai beras di Ethiopia dan Bangladesh, misalnya, lebih langka dibanding dengan yang ada di Thailand. Keterbatasn sumberdaya ini yang menurut mereka tidak bisa dinafikan.

Permasalahan bagi ilmu ekonomi adalah bagaimana menata skala prioritas. Ilmu ekonomi konvensional menyerahkan penataan ini pada selera manusia. Prinsip ini tidak bersesuain dengan prinsip Islam karena manusia bisa terjerumus pada apa yang disebut oleh Al-Quran dengan 'mempertuhankan hawa nafsu'.Pandangan madzhab Mainstream tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Titik pangkal persoalan ekonomi menurut mereka adalah kelangkaan sumber daya (scarcity). Namun meskipun sama-sama memandang kelangkaan sebagai titik masalah, tentu saja madzhab Mainstream tetap berbeda dengan ekonomi konvensional.Perbedaan itu terletak dalan menyelesaikan masalah. Kesulitan yang hadir karena sumber daya yang terbatas di satu pihak dan keinginan manusia yang tak terbatas di sisi lainnya, memaksa manusia membuat skala prioritas dalam memenuhi keinginannya.Dalam pandangan ekonomi konvensional pola penentuan skala prioritas itu didasarkan pada pandangan selera masing-masing. Mereka boleh mempertimbangkan tuntutan agama, pun boleh mengabaikannya. Dengan kata lain pilihan prioritas itu diserahkan pada keinginan mereka yang bebas atau yang dalam bahasa Al-Quran disebut sebagai 'mempertuhankan hawa nafsu'.Di sinilah bedanya. Madzhab Mainstream menegaskan pilihan dalam menata prioritas ekonomi itu tak bisa diatur semaunya saja. Sebab, perilaku manusia dalam segala aspeknya tak terkecuali masalah ekonomi, diatur dan dipandu oleh Al-Quran. Pandangan inilah yang dipopulerkan oleh antara lain Umer Chapra, MA Mannan, dan M Nejatullah Siddiqi.Banyak pendukung madzhab ini yang bekerja di Islamic Development Bank (IDB). Karena mereka memiliki akses ke berbagai negara, ide-idenya lebih cepat dan mudah tersebar. Kebanyakah dari mereka adalah doktor yang belajar dan sekaligus mengajar di universitas-universitas Barat.Sangat wajar bila mereka tidak pernah membuang teori-teori ekonomi konvensional ke keranjang sampah. Menurut mereka, usaha mengembangkan ekonomi Islam tidak berarti harus memusnahkan semua hasil analisis yang berharga yang telah dicapai oleh ekonomi konvensional. Sebab, mengambil hal-hal yang baik dan berguna yang dihasilkan oleh peradaban nonislam tidaklah diharamkan. Mereka merujuk pada hadits Nabi yang mengatakan hikmah itu bagi ummat Islam ibarat barang yang hilang di mana saja ditemukan, ummat Islamlah yang paling berhak untuk mengambilnya.Madzhab alternatif-kritisDua madzhab sebelumnya: madzhab Baqir dan Mainstream sama-sama bermasalah. Setidaknya, itulah yang memicu lahirnya paham ketiga dalam memandang ekonomi Islam. Madzhab ini lebih dikenal sebagai madzhab Alternatif-Kritis. Di antara pelopornya adalah Timur Koran (ketua Jurusan Ekonomi University of Southern California), Jomo (Yale, Cambride, Harvard, Malaya) dan Muhammad Arif.Mereka mengkritik madzhab Baqir hanya berusaha menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain dengan menghancurkan teori lama dan menggantinya dengan perspektif yang baru. Sedang madzhab mainstream menurut mereka sekedar 'jiplakan' dari teori ekonomi konvensioanl dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat.Sesuai namanya, mereka mencoba kritis baik terhadap sosialisme dan kapitalisme ataupun kepada Islam sendiri. Mereka yakin bahwa Islam tentu benar, tapi ekonomi Islami belum tentu benar karena itu digali dari penafsiran manusia terhadap Al-Quran dan As-Sunnah yang nilai kebenarannya tidak mutlak lagi. Oleh karena itu, tandas mereka, ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.Prinsip-prinsip umumMeskipun berbeda dalam memformulasikan pandangan dalam memahami ekonomi Islam, namun ketiga madzhab di muka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang mendasari ekonomi Islam. Prinsip inilah yang membentuk keseluruhan kerangka ekonomi Islam yang bisa digambarkan sebagai bangunan rumah dari mulai dasar hingga atapnya (lihat gambar).Fondasi dari bangunan ekonomi Islam dibangun di atas lima dasar: tauhid (keimanan), 'adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintahan) dan ma'ad (hasil). Kelima elemen inilah yang menjadi dasar inspirasi untuk menyususn proposisi dan teori ekonomi Islam.Agar teori yang kuat ynag digali dari ke lima elemen itu bisa diterapkan dan memberi dampak bagi kehidupan ekonomi maka harus disusun menjadi sebuah sistem. Karena itulah dari kelima dasar itu kemudian dieksplorasi dan kemudian diturunkan menjadi tiga prinsip derivatif yang menjadi cikal bakal sistem ekonomi Islam. Ketiga unsur ini adalah kepemilikan multi jenis (multitype ownership), kebebasan untuk berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice).Baru sebagai atap yang memayungi semua nilai dan prinsip itu ditempatkan konsep akhlaq. Kenapa demikian, karena akhlaq menjadi sentral dari dakwah nabi untuk menyempurnakan akhlaq manusia. Jadilah akhlaq ini yang menjadi panduan dan pedoman bagi pelaku ekonomi dalam menjalankan segenap aktivitas bisnisnya.

Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi Islam. Asalkan, tidak terjadi prektek distorsi (proses penzdaliman). Karena potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus dikurangi terus-menerus dengan menerapkan prinsip keadilan. Penegakan nilai-nilai keadilan dilakukan dengan melarang semua kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat (kerusakan) seperti riba (tambahan yang didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) atau pun mendapatkan keuntungan dari kerugian orang lain.Sebuah bangunan rumah setidaknya dibangun dari fondasi yang kuat, disangga dengan pilar-pilar yang kokoh, dilengkapi dengan atap yang menahan terik maupun hujan. Demikian juga dengan konstruksi teori ekonomi Islam. Fondasi untuk pembentukan ekonomi Islam dilandaskan pada lima nilai pokok. Yakni, keimanan (tauhid), keadilan ('adl), kenabian (nubuwwah) dan pemerintahan (khilafah).Kelima dasar yang membentuk teori ekonomi Islam ini selanjutnya diturunkan dalam tiga prinsip yang membentuk sistem ekonomi Islam. Ketiganya adalah kepemilikan multijenis (multitype ownership, kebebasan berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice) yang menjadi pilar penyangga. Sebagai atapnya, konstruksi ekonomi Islam memilihkan 'bahan' yang kita kenal dengan akhlaq. Berikut kupasan ringkas dari masing-masing nilai itu.Keesaan TuhanEsensi paling dasar dari fondasi ajaran Islam adalah Tauhid (keesaan tuhan). Bertauhid artinya, meniadakan semua elemen, zat yang patut disembah kecuali Allah (QS 2:107, 5:17,120, 24:33). Karena Allah adalah Maha Pencipta alam semesta (QS 6:1-3) sekaligus pemilik dan pemeliharanya. Allahlah yang memiliki segala sesuatu. Kepemilikan yang dikuasai manusia sekedar amanah dari Allah, yang diberikan sebagai batu ujian bagi manusia.Segala sesuatu yang ada tidaklah diciptakan Allah dengan sia-sia, melainkan ada tujuannya (QS 23:115). Manusia diciptakan Allah untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya (QS 51:56). Dalam kerangka ini, segala tindak manusia yang berhubungan dengan alam (sumberdaya) dan manusia (muamalah) tidak bisa dilepaskan dari hubungannya dengan Allah. Karena, kepada Allahlah nantinya segala perbuatan -- termasuk di dalamnya aktivitas ekonomi dan bisnis -- akan dipertanggungjawabkan.KeadilanSifat adil ('adl) menjadi sifat-Nya dalam segala hal. Sebagai wujud keadilan itu, Allah tidak membeda-bedakan makhluk berdasarkan kriteria ras, kekayaan, kecantikan, tapi siapa yang paling bertaqwa di antara mereka. Untuk menjaga keadilan di dunia, Allah menitahkan manusia untuk memelihara hukum Allah dan menjamin segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia (QS 2:30). Dengan cara itu, semua manfaat dari sumberdaya dapat didistribusikan secara adil. Adil secara sederhana diartikan sebagai "tidak menzdalimi dan tidak dizdalimi". Adil dalam ekonomi berarti setiap usaha pelaku ekonomi tidak boleh hanya didasari motif untuk mengejar keuntungan pribadi dengan merugikan orang lain atau merusak alam.Bila nilai keadilan hilang, maka manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai kelompok, di mana kelompok yang satu bisa menjadi ancaman bagi kelompok lainnya. Pada akhirnya, yang sangat dikhawatirkan adalah terjadinya eksploitasi manusia atas manusia (QS 25:20). Pada taran ini nilai keadilan digantikan dengan kerakusan.KenabianManusia bisa mengetahui bagaimana dia bertauhid dan selanjutnya bisa berbuat adil, tidak bisa dipisahkan dari peran para nabi dan rasul. Karena merekalah, pertunjuk Allah untuk bisa memaknai hidup agar selamat di dunia dan akhirat sampai kepada manusia. Mereka juga sekaligus menjadi prototype dan teladan bagi manusia di masanya.Bagi umat Islam, model yang sempurna yang telah dikirimkan Allah adalah Nabi Muhammad. Sebagai teladan, Nabi sepanjang hayatnya telah memperlihatkan empat sikap konsisten yang menjadi modal dasar dalam bernegara, berbisnis, berda'wah dan bermasyarakat yaitu sifat shiddiq, amanah, fathonah dan tabligh.Siddiq berarti benar atau jujur dalam segala tindakan. Inilah visi setiap muslim. Kehidupan di dunia harus dijalani secara benar, supaya hidup kita diridhai oleh yang Mahabenar. Dari konsep ini, dalam ekonomi bisa diturunkan prinsip efektivitas (mencapai tujuan yang tepat) dan efisiensi (melakukan kegiatan yang benar). Efektivitas bisa dicapai bila kegiatan ekonomi tersebut dilakukan dengan menggunakan teknik dan metode yang tidak menyebabkan kemubaziran. Mubazir dalam Islam adalah temannya setan. Dan setan selalu menjadi lawan dari kebenaran.Bila visi muslim kebenaran, maka perwujudannya dalam keseharian adalah bentuk sikap amanah. Bersikap amanah menjadi misi bagi setiap muslim. Amanah dalam bentuk sederhananya adalah tanggung jawab, kepercayaan dan kredibilitas. Muslim yang amanah berarti dia akan selalu berusaha dalam segala tindakannya dapat dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, kredibilitasnya di mata para kolega bisnis pun akan tinggi. Tanpa kredibilitas, bisnis yang sedang dirancang atau sudah dijalani akan hancur.Visi dan misi saja belum cukup. Untuk melengkapinya, seorang muslim harus cerdas dan bijaksana. Inilah perwujudan dari sifat fathonah. Dengan kecerdikan dan wawasan mendalam, seorang muslim akan memiliki strategi dalam hidup. Implikasi ekonomi dari sifat fathonah adalah bahwa segala aktivitas ekonomi harus dilakukan berdasarkan ilmu, kecerdikan dan menggunakan semua potensi akal untuk meraih tujuan. Pendeknya dalam berbisnis, muslim dituntut untuk bersikap work hard and smart.Untuk menunjang tiga sifat dasar di muka, dalam hidup muslim harus bisa melakukan kegiatan pemasaran. Dalam 'memasarkan' ajaran agama, Nabi dibekali dengan sifat tabligh. Sifat itu bisa meliputi keahlian komunikasi, keterbukaan dan pemasaran. Bila sifat tabligh sudah mendarah daging, setiap muslim mestinya bisa menjadi pemasar-pemasar tangguh.PemerintahanManusia diciptakan untuk menjadi kholifah (pemimpin yang memerintah) di muka bumi. Itu artinya, mereka mendapatkan amanah sebagai pemimpin dan pemakmur bumi. Sifat manusia pada dasarnya sebagai pemimpin. 'Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawabannya, demikian sebuah petikan sabda Nabi. Dengan demikian, apakah dia sebagai kepala negara, pemimpin masyarakat, pemimpin keluarga atau sebagai individu pun mereka adalah pemimpin. Ini mendasari sikap hidup kolektif dalam Islam. Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi antar kelompok agar kekacauan dan keributan bisa dihindarkan.Dalam Islam pemerintah memerankan bagian yang tidak kecil. Di pundak pemerintah dipikulkan tugas untuk menjamin perekonomian agar berjalan sesuai dengan syariah, di samping untuk memastikan agar tidak ada pelanggaran-pelanggaran atas hak-hak manusia. Semua itu bertujuan untuk mencapai maqashid syar'i (tujuan-tujuan syariah) yaitu untuk memajukan kesejahteraan manusia. Kesejahteraaan itu hanya bisa dicapai bila ada perlindungan terhadap keimanan, jiwa, akal, kehormatan dan kekayaan manusia.HasilPrinsip dasar ekonomi Islam yang terakhir adalah ma'ad (hasil). Secara harfiah ma'ad berarti "kembali". Hidup manusia akan berakhir dan kemudian ia akan "kembali" kepada Allah. Ini mengajarkan betapa hidup tidak saja di dunia, tapi terus berlanjut hingga alam akhirat. Itulah kenapa dalam Islam dunia dipandang tak lebih dari sekedar ladang bagi akhirat. Dunia sekedar wahana untuk menyebarkan benih-benih kebajikan yang hasilnya akan dituai di akhirat kelak. Karena lebih kekal, tentu saja akhirat lebih baik ketimbang dunia. Karena itu Allah melarang manusia untuk terikat pada dunia. allah menegaskan, kesenangan di dunia tidaklah seberapa bila dibanding dengan kenikmatan akhirat (QS 87:17).Allah memerintahkan manusia untuk berjuang untuk mnedapatkan ganjaran baik di dunia maupun di akhirat. Perbuatan baik mereka akan dibalas dengan kebaikan yang berlipat. Dari sini konsep ma'ad diartikan sebagai imbalan atau ganjaran. Dalam kehidupan ekonomi, motivasi para pelaku bisnis, menurut Imam Ghazali, adalah untuk mendapatkan laba: baik berupa ganjaran di dunia dan akhirat. Itulah mengapa konsep Islam memberikan legitimasi untuk memdapatkan profit.Sistem ekonomi IslamDari kelima nilai di muka, jelaslah semua elemen menjadi sumber inspirasi bagi penyusunan teori-teori dan proposisi ekonomi Islam. Dari nilai-nilai itu, bisa diturunkan lagi dalam bentuk prinsip derivatif yang menjadi ciri khas sistem ekonomi Islam. Prinsip derivatif tersebut adalah kepemilikan multi jenis (multitype ownership), kebebasan berusaha (freedom to act) dan keadilan sosial (social justice). Berikut kupasan dari masing-masing prinsip.Nilai tauhid dan adil akan melahirkan konsep multitype ownership. Dalam sistem kapitalis, prinsip umum kepemilikan yang berlaku adalah kepemilikan swasta. Sebaliknya, dalam sistem sosialis, negaralah yang mengklaim kepemilikan itu. Islam berada di tengah-tengahnya dengan mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan baik untuk swasta, negara atau campuran.Dengan prinsip ini, ditegaskan pemilik utama bumi seisinya berikut langit yang memayungi hanya Allah semata. Manusia sekedar diberi hak untuk mengelola. Dia sekedar pemilik sekunder. Dengan demikian kepemilikan swasa diakui, tapi untuk menjamin keadilan -- tidak ada eksploitasi satu dengan yang lain -- maka cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Ini adalah bentuk pengakuan terhadap kepemilikan negara. Sistem kepemilikan campuran, baik campuran swasta-negara maupun swasta-domestik-asing, juga mendapat tempat dalam Islam.Nilai nubuwwah di muka telah dijelaskan akan menjadikan pribadi-pribadi yang profesional dan prestatif dalam segala hal -- termasuk dalam bisnis. Pelaku bisnis akan tergerak untuk menjadikan Nabi sebagai model dalam menjalankan bisnis, khususnya dalam meniru sifat siddiq, amanah, tabligh, dan fathonah.Keempat nilai ini bila digabungkan dengan nilai keadilan dan khilafah (good governance) akan melahirkan prinsip kebebasan bertindak (freedom to act) bagi setiap muslim, khususnya dalam usaha/bisnis. Freedom to act akan menciptakan mekanisme pasar bagi perekonomian yang sehat. Mekanisme pasar menjadi bagian yang mendasar bagi Islam, asalkan tidak terjadi prektek distorsi (proses penzdaliman).Karena potensi distorsi selalu ada dalam pasar, maka itu harus dikurangi terus-menerus dengan menerapkan prinsip keadilan. Penegakan nilai-nilai keadilan dilakukan dengan melarang semua kegiatan usaha yang cenderung membawa mafsadat (kerusakan) seperti riba (tambahan yang didapat secara dzalim), gharar (ketidakpastian) dan maysir (perjudian) atau pun mendapatkan keuntungan dari kerugian orang lain.Menjadi tugas negaralah untuk menyingkirkan segala distorsi ini. Dengan demikian negara bertindak untuk mengurangi market distortion. Peran negara adalah mengawasi interaksi (muamalah) para pelaku bisnis dalam menjalankan usahanya agar tidak melanggar syariah dan menjadikan pihak lain sebagai pihak yang terzdalimi.Gabungan dari nilai khilafah dan ma'ad akan melahirkan prinsip keadilan sosial (social justice). Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menciptakan keseimbangan sosial antara yang kaya dengan yang miskin.AkhlaqSetelah memiliki landasan teori yang kuat, serta sistem ekonomi yang mantap, masih ada lagi yang kurang: perlunya panduan yang menuntut para pelaku ekonomi bertindak. Mereka harus bertindak sesuai dengan teori dan sistem yang telah digali dari sumber-sumber Islam itu. Norma yang bisa menuntut untuk melakukan itu adalah akhlaq.Dengan kata lain, harus ada manusia yang berperilaku dan berakhlaq secara profesional (ihsan) dalam bidang ekonomi. Baik dia posisinya sebagai produsen, konsumen, pengusaha, karyawan, atau sebagai pejabat pemerintah.Teori sebaik apapun tidak akan mendapatkan hasil guna yang diharapkan bila manusia pelaksananya tidak berakhlaq. Sistem ekonomi Islam hanya memastikan tidak ada transaksi ekonomi yang bertentangan dengan syariah. Namun yang penting, kinerja bisnis tergantung pada man behind the gun. Akhlaq menjadi kriteria pertama apakah para pebisnis melakukan usahanya dengan benar. Itulah kenapa nabi menegaskan, "Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq."


Prayudi
Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEUI


Uang dalam Ekonomi Islam
ss


Sebelum diperkenalkan uang sebagai alat tukar, perdagangan dalam masyarakat dunia menggunakan sistem barter. Sebagaimana diketahui, barter dilakukan dengan cara me-nukarkan barang atau komoditas diantara pihak-pihak yang bertransaksi, namun transaksi dapat dilakukan jika si A, misalnya, memang membutuhkan barang yang ditawarkan si B, demikian pula dengan si B. Singkat kata, dalam ekonomi barter ini, transaksi hanya dapat terjadi bila kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, atau menurut Lipsey dan Courant (1996) harus terjadi double coincidence of wants.
Dalam sejarah perekonomian Islam, mata uang sudah mulai dikenal di awal “kekhalifahan”. Hal itu bisa kita lihat ketika masa Umar dan Utsman, mata uang telah dicetak dengan mengikuti gaya dirham Persia, dengan perubahan pada tulisan yang tercantum di mata uang tersebut. Meskipun pada masa awal pemerintahan Umar pernah timbul ide untuk mencetak mata uang dari kulit, namun akhirnya dibatalkan karena tidak disetujui. Mata uang khilafah Islam yang mempunyai ciri khusus baru dicetak pada masa pemerintahan Amirul Mu’minin Imam Ali as, meskipun peredarannya masih terbatas.
Mata uang dengan gaya Persia dicetak pula di zaman Muawiah dengan mencantumkan gambar gubernur dan pedang. Gubernur Irak pada masa pemerintahan Muawiah, yakni Ziad, juga mengeluarkan dirham dengan mencantumkan nama khalifah. Pencantuman gambar dan nama kepala pemerintahan pada uang, sampai sekarang masih dipertahankan, termasuk Amerika sekalipun.
Pada masa Abdul Malik (76 H) nilai tukar dinar-dirham relatif stabil pada jangka waktu yang panjang dengan kurs dinar-dirham 1:10. Pada masa itu perbandingan emas-perak adalah 1:7 sehingga satu dinar 20 karat setara dengan sepuluh dinar 14 karat. Reformasi moneter pernah dilakukan oleh Abdul Malik, yaitu dirham diubah menjadi 15 karat, dan pada saat yang sama dinar dikurangi berat emasnya dari 4,55 menjadi 4,25 gram.
Di zaman Ibnu Faqih (289 H), nilai dinar menguat menjadi 1:17, namun kemudian stabil pada kurs 1:15. Setelah reformasi moneter Abdul Malik, maka ukuran-ukuran nilai adalah seperti berikut : satu dinar 4,25 gram, satu dirham 3,98 gram, satu uqiyya 40 dirham, satu mitsqal 22 karat, satu ritl (liter) 12 uqiyya setara 90 mitsqal, satu qist 8 ritl setara dengan setengah satu qafiz setara seperempat artaba, satu wasq satu jarib 4 qafiz.
Sekian ratus tahun kemudian, cukup mengejutkan memang, kurs 1:15 ini juga berlaku di Amerika pada 1792-1834 M. Berbeda dengan langkah yang diambil Abdul Malik dengan reformasi moneternya, Amerika tetap mempertahankan kurs ini walaupun di negara-negara Eropa nilai mata uang emas menguat pada kisaran kurs 1:15,5 sampai 1:16,6. Walhasil, mata uang emas mengalir keluar dan mata uang yang lama mengalir masuk ke Amerika. Kejadian ini dikatakan oleh Thomas Gresham sebagai bad money drives out good money atau uang kualitas buruk akan mengantikan uang kualitas baik. Risalah dari munculnya Gresham’s law ini adalah sebagai berikut:
Pada 1519-1579 M, Sir Thomas Gresham adalah salah satu penasihat di dalam istana Elizabeth. Ketika Elizabeth I (1558-1603) naik tahta, yakni pada pertengahan abad keenam belas, telah terjadi pemalsuan koin-koin yang saat berlaku sebagai mata uang; pemalsuan mata uang ini dalam kitab fikih Islam disebut maghsyusy. Melihat hal itu, ratu Elizabeth berinisiatif untuk menciptakan koin baru terbuat dari emas yang face value-nya sama dengan nilai intrinsiknya dengan maksud untuk menyelamatkan sektor perdagangan. Namun apa yang terjadi? Tidak berselang lama setelah koin emas yang baru dilempar ke masyarakat, koin-koin tersebut hilang, mengapa ?
Secara rasional, tentu saja masyarakat akan lebih senang menggunakan jenis mata uang yang lama (koin lama) sebagai alat pembayaran daripada harus menggunakan koin emas yang baru. Dengan dua jenis mata uang yang berbeda bahan namun mempunyai kekuatan dan fungsi yang sama, mendingan menjual koin emas atau bahkan mencairkannya menjadi perhiasan.
Uang bagaikan cermin. Cermin tidak punya warna namun dapat merefleksikan semua warna. Begitu pun uang. Uang tidak punya harga namun dapat merefleksikan semua harga. Uang bukan komoditi dan oleh karenanya tidak dapat diperjualbelikan dengan harga tertentu. Memperjualbelikan uang ibarat memenjarakan fungsi uang. Jika banyak uang yang diperjualbelikan niscaya hanya tinggal sedikit uang yang dapat berfungsi sebagai uang. Dan bila semua uang telah digunakan untuk memperjualbelikan uang, niscaya tidak akan ada lagi uang yang berfungsi sebagai uang.
Dalam sistem ekonomi konvensional dikenal adanya 3 fungsi uang, yaitu :
1. 1. Medium of Exchange
2. 2. Unit of Account
3. 3. Store of Value
Sedangkan dalam ekonomi Islam, hanya dikenal adanya 2 fungsi :
1. 1. Medium of Exchange (for transaction)
2. 2. Unit of Account
Dalam Islam, fungsi pertama ini jelas bahwa uang hanya berfungsi sebagai medium of exchange. Uang menjadi media untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain, sehingga uang tidak bisa dijadikan komoditi.
Fungsi kedua dari uang dalam Islam adalah sebagai unit of account. Dalam ekonomi barter sekalipun uang tetap diperlukan. Seandainya uang tersebut tidak diterima sebagai medium of exchange, uang tetap diperlukan sebagai unit of account, misalnya untuk mengetahui apakah 3 buah topi sama dengan 1 durian?.
Fungsi ketiga dari uang sebagai store of value. Ketika teori konvensional memasukkan satu dari fungsi uang adalah sebagai store of value dimana termasuk juga adanya motif money demand for speculation. Hal ini tidak diperbolehkan dalam Islam. Islam memperbolehkan uang untuk transaksi dan untuk berjaga-jaga, namun menolak uang untuk spekulasi. Hal ini sama saja dengan memenjarakan fungsi uang.
Lalu bagaimana Islam memandang konsep utility uang ? Seperti telah dijelaskan di atas bahwa dalam Islam, uang hanya diakui sebagai intermediary form, hanya diakui sebagai medium of exchange dan unit of account, tidak lebih dari ini. Artinya fungsi uang hanya sekedar sebagai medium dari barang yang satu berubah menjadi barang yang lain, tidak perlu adanya double coincidence needs. Jadi dalam konsep Islam, uang tidak masuk dalam fungsi utility kita, karena sebenarnya manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu sendiri, tetapi dari fungsi uang.
Dalam hadits-hadits Rasulullah SAWW bisa kita lihat peran uang sangat sentral sekali dalam teori ekonomi Islam. Salah satu contoh ketika pada suatu hari sahabat Bilal bin Rabah ingin menukar 2 sak kurma yang buruk dengan 1 sak kurma yang baik, maka Rasulullah SAWW mengatakan, Tidak boleh, jual dulu kurma yang buruk, lalu barulah beli kurma yang baik dengan hasil penjualan tersebut. Menurut Rasulullah SAWW, tiap kurma mempunyai harga masing-masing. Oleh karena itu sangatlah naif sekali apabila dikatakan bahwa dalam teori ekonomi Islam tidak mengenal konsep uang.
Islam juga tidak mengenal konsep time value of money. Rumus time value of money : FV = PV (1 + i)n sebenarnya mengambil/mengadopsi dari teori pertumbuhan populasi, dan tidak ada dalam ilmu finance. Rumus pertumbuhan populasi adalah sebagai berikut : Pt = Po (1 + g)t
Jadi future value dari uang dianalogikan dengan jumlah populasi tahun ke-t, present value dari uang dianalogikan dengan jumlah populasi tahun ke-0, sedangkan tingkat suku bunga dianalogikan dengan tingkat pertumbuhan populasi. Ini merupakan kekeliruan fatal, sebab uang bukan makhluk hidup yang dapat berkembang biak dengan sendirinya.
Akan tetapi, economic value of time-lah yang dikenal dalam Islam. Maknanya adalah bahwa time akan mempunyai economic value jika waktu tersebut ditambah dengan faktor produksi yang lain, sehingga menjadi capital dan dapat memperoleh return. Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (doing the right things), dan efisien (doing the things right), maka akan semakin tinggi nilai waktunya.
Wallaahu alam bishawab

Prayudi
Mahasiswa Jurusan Akuntansi FEUI

Tidak ada komentar: